Chapter 11. Memperbaiki Keadaan

209 28 27
                                    

"Jadi, apa yang akan kita lakukan besok?"

Sedetik setelah pertanyaan itu dilayangkan, giliran serbet berminyak yang melayang ke wajahnya. Pelaku pelemparan tidak acuh atas keakuratannya dan melanjutkan pekerjaannya di penggorengan. "Aku hanya ingin menyadarkan betapa joroknya dapur laki-laki. Semua serbetmu berminyak!" kata si gadis. "Jadi, sebelum memikirkan langkah selanjutnya, bersihkan dulu serbetmu. Jika masih tidak bisa, sembuhkan dulu lukamu."

Fery sigap meloncat dari sofa dan berkacak pinggang di hadapan dinding terbuka tempatnya bisa melihat Vira sedang membersihkan perkakas di dapur. "Lihat, aku sudah sehat."

Setelah menyampaikan informasi itu, kini tomat dengan mulus mendarat di dahinya.

"Kau bahkan belum bisa membungkuk sambil menyentuh ujung kaki dengan ujung jarimu."

Usai mengelus bekas lemparan tomat, Fery melakukan aksinya kembali sesuai instruksi Vira―berperan sebaik-baiknya agar bisa berkelana dan mencari jalan keluar untuk kasus Desya. Tubuhnya adalah salah satu yang dapat Fery banggakan karena selain kokoh juga lentur. Baginya menyentuh ujung kaki dengan pergelangan tangan pun bukan masalah.

Seharusnya.

"AKKHH!"

Vira tersenyum. Ia menang.

Fery menggulung seperti trenggiling. Lengannya melingkari perut, melindunginya dari rasa sakit yang teramat menghujam. Rasanya kulit yang baru terjahit 5 hari yang lalu kini terlepas―sekalipun ia tidak merasakan aliran hangat merembes ke telapak tangannya.

"Jika kau melakukan kayang seperti ini..," Vira perlahan melengkungkan tubuhnya hingga perut berada di atas sementara kepalanya sejajar dengan betis, "barulah semua jahitanmu akan lepas."

Pemuda itu terkekeh, menyadari kebenaran ucapan si gadis. Ia kembali duduk lalu meminum susu buatan sahabatnya. "Buatkan aku lebih banyak agar cepat sembuh."

"Ya, lalu membuat putra tunggal Rustaman tewas karena diabetes. Aku tidak ingin dibunuh ibumu, apalagi di usia muda begini." Vira mengeratkan spons hingga semua busanya meleleh, sudah tidak sadar karena bicara melantur. "Aku belum menikah."

"Tenang saja, mertuamu itu tidak akan membunuhmu."

Kini spons cuci itu telah giliran menyasar ke wajah Fery.

Vira ingin menanggapinya sebagai candaan, seperti biasa. Tapi, kini semuanya telah berbeda. Bayangan tentang Fery yang dinilainya telah berpaling dari orang lain membuatnya sadar posisi. Ia tersenyum, tersirat kekecewaan. "Katakan itu pada Desya kesayanganmu."

Gelak tawa terdengar, membuat Vira makin bengis menatap sang empunya tawa.

"Astaga, astaga. Baiklah, wanita di depanku cemburu sekali."

Sambutan dingin menjadi jawaban. Vira hanya meletakkan piring terakhir yang ia cuci lalu melangkah menuju meja masak. Ia kembali memotong sawi, lalu ke sana kemari mencari kesibukan. Apapun, asalkan ia tidak merespon ucapan Fery yang hingga saat ini masih membujuknya.

"Ayolah, Vir. Kita sudah tahu tentang perasaan masing-masing dan.., oh sungguh aku tidak ingin membahasnya di saat seperti ini. Intinya aku memacari Desya karena saat itu karirnya merosot. Ia perlu sorotan media dan dengan cara apapun perlu dilakukan. Makanya kami terlibat dengan perjanjian itu. Mereka hanya membicarakan inisialku dan kami hanya perlu tampil 'sedikit' mesra menghadap belakang pada kamera yang telah disiapkan. Aku dibayar, kau tahu. Ya.., walaupun..," Fery mengatupkan mulutnya, sadar ia sudah berlebihan bicara. "Sudah, lupakan. Pada akhirnya berkat diriku, ia kembali mencuri perhatian dan bisa mendapatkan beberapa kesempatan untuk mengisi sponsor."

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang