Chapter 6. Mencari Tahu

176 24 2
                                    

Mereka bertemu di tempat yang tidak seharusnya. Bau solar bekas yang sudah bercampur air sungai sungguh membuat hidung sesak. Pelabuhan adalah tempat yang vital untuk keberlangsungan kehidupan kota, namun juga fatal untuk merusak masyarakat di dalamnya. Setidaknya puluhan kilogram narkoba sudah berhasil dikirim dan diterima oleh pemiliknya saat ini. Ia hanya distributor, namun kecerdasan dan kelicinan yang dimilikinya bahkan bisa mengalahkan gerakan polisi yang selalu terlambat untuk membatalkan transaksi barang haram tersebut.

Salah satu diantara mereka menggunakan celana ketat yang menampakkan kaki jenjangnya. Dibanding menjauhi bau busuk di pelabuhan kecil malam ini, ia lebih suka menikmatinya bersama angin malam di muara sungai. Kapal pembawa barang haram ini sampai lebih cepat dari yang diperkirakan sehingga ia masih memiliki waktu luang untuk berbicara dengan seseorang yang ia panggil datang kemari malam ini.

"Walau sudah lama berada di tempat seperti ini, tetap saja aku masih merasa mual," kata seorang lagi dengan gestur mual sembari menjauhi sumber utama bau di tempat ini. "Astaga! Cepat bicara dan aku akan pergi dari sini."

"Aku yang melakukannya," jawab seorang lain sembari menyandarkan tangannya pada tepian jembatan. Nadanya halus namun tegas saat mengatakannya.

"Haa?" beo seorang lagi sambil memiringkan kepala. "Kau melakukan apa?"

Rasanya waktu berjalan cukup lama saat perokok anggun ini menghabiskan hisapan tembakau terakhir sebelum membuangnya dengan kasar ke sungai. Pandangannya menerawang pada kemilau perkotaan di seberang sana. "Aku yang meracuni mereka."

Orang di sebelahnya menoleh kaku―lebih karena tidak menyangka sosok di sampingnya yang ia kenal baik bisa melakukan hal keji seperti ini. Lidahnya kelu untuk mengartikan ucapan orang yang sedang asyik mengambil rokok keduanya ini. Akhirnya hanya pertanyaan bodoh yang bisa dilayangkan. "Meracuni siapa?"

"Pffttt..," tawa renyahnya mengiringi kepulan asap putih yang melayang sehabis ia mengembuskan napas. Bibir tipisnya tersenyum manis ketika menoleh pada lawan bicaranya. "Galang Bahri dan Milfan Stephansi, tentu saja."

Tidak ada lagi pembicaraan setelahnya. Dibanding menjawab, orang di sebelahnya memilih diam untuk menetralkan jantungnya serta memutuskan respon apa yang tepat untuk sosok tenang di sampingnya―sosok yang bisa ia sebut sebagai pembunuh.

"Tak perlu khawatir," kata orang di sebelahnya sambil tersenyum manis―semanis kepribadian yang seharusnya ia miliki. Ujung rokoknya digesek-gesekkan ke bibir dengan sensual. Sungai yang damai sedikit menenangkannya terutama untuk memikirkan masa depan. "Ini semua agar kita bisa hidup damai bersama."

***

Vira mendudukkan diri di salah satu bangku taman bermain. Kepalanya pening dan pusing setelah menaiki bianglala dan atraksi yang tidak akan ia dapatkan jika berada di Pontianak. Isi perutnya terasa berputar dan terkumpul di tenggorokan―siap dimuntahkan. Fery yang berada di sebelahnya membantu memijit tengkuknya agar Vira dapat mengeluarkan muntahannya dengan baik.

Hari ini adalah saat bagi Fery untuk menetapi janjinya. Salah satu persyaratan yang Vira ajukan agar ia mau ke Jakarta dan melepaskan asistensi skripsi adalah dengan diajak ke taman bermain yang hanya bisa ia lihat di televisi. Keinginannya sederhana dan Fery dengan senang hati mengabulkannya. Namun, ini tidak sesuai dengan yang Vira ekspektasikan. Bukannya mendapat kesenangan, yang ada perutnya mual namun tidak ada apapun yang dapat dimuntahkan.

"Jika di drama romantis, kau seharusnya beristirahat sambil berbaring di pahaku untuk mengurangi rasa mualmu," ucap Fery sambil menepuk-nepuk pahanya. Namun, bukannya memposisikan dirinya untuk berbaring di paha Fery, Vira yang awalnya menunduk untuk memuntahkan isi perutnya malah menyentakkan keras kepalanya ke atas hingga dagu Fery harus terantuk sedemikian rupa. Sumpah serapah hampir ia keluarkan jika Vira tidak menatapnya layaknya binatang buas.

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang