Chapter 9. Kembalilah, Aku Kesepian

146 21 12
                                    

Fery sadar ada yang salah dengan Vira. Teleponnya tidak diangkat. Ketika didatangi di apartemen Desya; tidak ada jawaban. Fery bahkan sampai menanyakannya pada keamanan di apartemen dan menemukan rekaman CCTV saat Vira keluar dari sana dengan menyeret koper besarnya.

Sial! Apa Vira kembali ke Pontianak tanpa memberitahunya?

Saat itu seperti kesetanan Fery kembali menelepon Vira. Ia bahkan menelepon ayah, ibu, kakak, dan teman Vira. Seperti sudah bekerjasama, semua saksi kunci keberadaan gadis itu tidak satupun mengangkat teleponnya, sisanya hanya memberi berita tidak membantu: "aku tidak tahu kabar Vira".

Karenanya Fery mendatangi kediaman Ganendra yang harus memakan banyak waktu untuk sampai―mengorbankan nyaris setengah hari sepenuhnya hanya untuk memastikan keadaan Vira baik-baik saja. Bagaimanapun, gadis itu adalah tanggung jawabnya.

"Vira sudah pulang kembali ke Pontianak. Ini kunci apartemen yang ia antar kemarin ke sini," kata Desya ketika Fery datang dengan wajah paling lusuh dan penuh akan raut kekhawatiran menanyakan tentang keberadaan sahabatnya. Setelah meletakkan minuman dingin di meja agar tamunya ini bisa tenang dahulu, ia pun mengeluarkan kunci apartemen untuk meyakinkan Fery.

"Kapan dia datang?" Lagi, bukannya tenang, Fery malah semakin gelisah. Ia bahkan tahan untuk berdiri jika Desya tidak menyuruhnya duduk kembali.

"Kalau tidak salah siang.., aku tidak tahu kapan tepatnya karena aku sedang belanja bersama Wira," Desya mengangguk-angguk sambil menerawang untuk mengingat. "Cleosa yang menerima kunci ini."

"Dengan apa ia pulang? Aku takut ia tidak memiliki ongkos cukup. Astaga, apa yang aku pikirkan hingga tidak peduli pada temanku! Sumpah, hatiku sangat tidak nyaman!" ocehan Fery tidak berhenti. Nadanya bahkan lebih tinggi di setiap kata dan penuh sesal. Ia pasti sudah membuat Vira marah karena kesalahan yang ia sendiri tidak ketahui.

"Dia ke bandara diantar oleh Cleosa. Masalah ongkos sudah dibayarkan semua olehnya," jawab Desya mengulum senyum pada bibir berwarna merah muda―lapisan dari lipstick dan lipgloss yang mengkilap.

Tidak disangka, Fery kembali berdiri. Pergerakannya yang terburu-buru, berarti ia memang sedang gelisah. "Aku ingin bertemu Cleosa." Lalu tanpa menunggu izin Desya langsung menghambur masuk ke dalam.

Ada kepanikan yang terpancar. Cleosa saat ini sedang tidur dan kamarnya yang berada di lantai 2 adalah alasan Desya sangat khawatir. Untuk itu ia menyusul Fery dan sebelum pemuda itu menaiki tangga, tangannya sudah menahan lengan mantan kekasihnya. "Jangan, Fer. Cleosa sedang tidur saat ini. Jangan mengganggunya."

"Kelelawar satu itu masih saja malas-malasan," kata Fery makin bersemangat untuk membangunkan Cleosa. Namun, Desya tetap tidak lepas menggenggam tangannya yang membuatnya berjengit melihat tingkah aneh Sang Model. Ini bukan pertama kalinya Fery menginjakkan kaki di rumah ini, namun memang belum pernah ia naik ke lantai atas.

"Jangan naik. Biar aku saja yang membangunkannya," kata Desya. melihat gestur bingung dan tidak terima dari Fery, ia pun melanjutkan. "Cleosa akan marah jika dibangunkan. Kalau denganku, mungkin ia sudah terbiasa."

"Kalau begitu tidak masalah. Jika ia memukul, maka lebih baik ia memukul pria sepertiku dibanding wanita," jawab Fery lalu kembali melangkah ke atas. Namun kali ini Desya menariknya cukup keras―bahkan membuatnya hampir tidak seimbang. Tatapan Desya tidak lagi sebagai kawan, namun sudah mirip sebagai ancaman. Ini adalah peringatan keras.

Untuk pertama kalinya Fery merasa orang didepannya bukanlah Desya.

"Aku mencurigai Desya."

Persetan! Ia malah teringat dengan perkataan Vira.

"Ada apa ini?"

Bagai angin dingin diantara perseteruan mereka, suami Desya pun muncul. Ia mengernyit melihat istrinya memegang tangan seorang pria asing dengan erat. Namun, gesturnya tetaplah seorang yang tenang dan memilih menyimpulkan semuanya setelah mendengar penjelasan mereka.

IN Series 4: PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang