Catherine POV
DEMI Tuhan. Demi Tuhan. Demi Tuhan.
Benakku terus membisikkan kata-kata yang sama begitu bunyi keras bantingan pintu itu menggelitik gendang telingaku. Aku menatap Alice yang masih berdiri di depan kelas dengan penuh rasa malu.
Aku paham rasanya berada di antara orang-orang baru, merasa dirimu sebatang kara dan tidak tahu langkah apa yang harus diambil ke depannya. Aku tahu itu karena aku juga pernah menjadi anak baru di panti asuhan ini. Tetapi, anak baru sama sekali tidak perlu mendapat bukti kebobrokan sekolah yang dimasukinya sedetik setelah ia menginjakkan kaki di sana. Alice pasti merasa bingung, dan—lebih parah lagi—ketakutan. Kuasumsikan ini kali pertamanya hidup tanpa orang tua, dan harus menghadapi orang macam Andrew Leonardo pastilah bakal jadi mimpi buruk.
Jadi, kuhampiri ia dengan tergesa-gesa sambil sebisa mungkin tampak panik agar ia tidak mengira kejadian seperti barusan terjadi setiap hari—padahal memang begitu kenyataannya, tapi toh akan ada waktunya cewek itu tahu sendiri (dan jelas bukan sekarang).
"Lice, kamu nggak apa-apa, kan?" tanyaku.
"Eh, apa?" Alice malah tampak seperti baru sadar dari bengong. Ia menatapku lurus-lurus dengan mata belonya, "Mereka nggak ngapa-ngapain aku, kok."
Aku balik menatapnya tak percaya. "Tapi, aku kira kamu mungkin takut atau apa, gitu?"
"Nggak kenapa-napa, kok," sanggahnya. Ia terdiam selama beberapa detik setelah itu, tetapi kemudian menyambung, "Cowok rambut merah itu siapa, sih?"
Aku menghela napas berat. Here it goes again. "Namanya Andrew Leonardo," jawabku, "Dia emang agak... kasar. Tapi nggak perlu takut. Biasanya dia nggak cari gara-gara sama cewek, kok."
"Siapa bilang?"
Aku terlonjak kaget saat suara Bryan tiba-tiba menyela. Saat aku membalikkan badan, ternyata cowok itu sudah berdiri tegak di sana dengan sebelah alis terangkat. Sebelum ini, aku memang tidak pernah mendengar bahwa ia tidak suka terhadap Andrew atau apa. Tetapi, kurasa semua orang di sekolah sudah tahu soal 'insiden kemarin' yang ramai diperbincangkan di mana-mana. Bodoh untuk mengira bahwa tidak akan ada perselisihan di antara mereka saat ini, tetapi kurasa Alice tidak perlu tahu.
Sayang, sepertinya rasa penasaran cewek itu agak di atas rata-rata. Saat aku sudah siap mengalihkan topik pembicaraan untuk menghindari ketakutan yang tidak perlu, dia malah membuka suara duluan. "Memangnya dia kenap—"
"Mendingan kamu duduk dulu, deh, Lice," aku memotong terburu-buru. Dengan sebuah lirikan penuh isyarat, aku menyuruh Bryan diam supaya tidak mengacau dulu. "Kalo Pak Tanto masuk lagi dan kamu belum duduk, kayaknya nggak enak, kan?"
Alice diam sejenak, tetapi kemudian bergumam menyetujui. "Bener juga," katanya. Ia memutar pandangan ke sekeliling untuk mencari tempat duduk kosong. Aku mengikuti gerakan matanya, dan langsung terkesiap.
Ya Tuhan, apalah arti usahaku mengalihkan topik pembicaraan?
Satu-satunya bangku kosong hanya di situ—di seberang mejaku. Dan, duduk tepat di samping bangku itu adalah Marsha Gwen, cewek terpintar sekaligus terseram yang pernah ada. Dan kurasa alasan bangku di sebelahnya kosong sudah cukup jelas : tidak ada yang mau duduk di sampingnya.
***
((Illustrasi tokoh))
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Terror of the White Mask
Bí ẩn / Giật gânCompleted. #13 in pembunuhan (10 Mar 2022) [WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sebuah panti asuhan elit di kota Jakarta. Di situlah kasus-kasus mengerikan terjadi. Di sekolah yang dibangun...