Chapter Seventeen

135 28 1
                                    

Catherine POV

SUASANA sekolah benar-benar tak ubahnya pekuburan sepanjang hari itu.

Bukan berarti tak ada satu pun orang yang berbicara. Justru, sebaliknya, aku sadar betul, bisikan-bisikan muram mengiringi jalannya kegiatan di sekolah—yang, anehnya, tetap dipaksakan untuk berjalan seperti biasa. Dalam kondisi kacau seperti ini, berita sekecil apa pun yang bocor mampu tersebar ke seluruh penjuru sekolah dalam hitungan milidetik. Bahkan, kabar remeh yang tidak ada hubungannya dengan kasus aneh itu—seperti hukuman yang aku dan teman-teman terima—juga menemukan tempat di sela-sela perbincangan para siswa yang dipenuhi ketegangan. Entah siapa yang menyebarkan dan bagaimana versi yang mengalir dari telinga ke telinga, aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu.

Saat jam sekolah usai, tak terbayang betapa leganya aku karena mengira akhirnya bisa terbebas dari suasana tidak enak yang meliputi seisi sekolah.

Namun, tentu saja, aku salah.

"Mau meriksa tempat kejadian?" Joshua bertanya saat kami semua sudah berkumpul kembali di depan kelas—kebetulan, kelas XI-A dan XI-B memang bersebelahan.

"Sekarang?" tanyaku langsung. "Memangnya nggak ada yang jagain?"

"Makanya, kita harus lihat," jawabnya, "Kalo ada yang jagain, kita bisa balik ke asrama."

Sesuatu dalam diriku mengatakan rencana ini tidak akan berjalan selancar kedengarannya.

"Kalo nggak mau ikut, nggak apa-apa, sih," Bryan menimpali, sama sekali tak ada nada ketus dalam suaranya. Kemudian, ia menyambung, "Gue, mah, ikut aja. Lagian, Iris udah terbukti nggak bisa diajak kerjasama. Kita nggak bakal lolos dengan kabur malem-malem kayak kemarin lagi."

"Gue juga ikut, deh," Alice setuju, "Siapa tahu, kan, ada petunjuk yang bisa ditemuin?"

"Gue mau tidur siang." Bisa ditebak, kalimat terakhir ini meluncur dari mulut Sam. "Gue capek."

Semua orang langsung memandang Sam seolah-olah cowok itu kerasukan. Baiklah, hal semacam 'gue mau tidur siang' adalah hal yang normal untuk seorang Sam. Tetapi, dalam kondisinya yang mendadak jadi pendiam sepanjang hari, hal itu terlalu normal. Sangat normal sampai-sampai terkesan dipaksakan. Aku benar-benar berharap, apa pun yang membebaninya, ia mau bercerita kepada kami alih-alih menyembunyikan hal yang tidak pasti seperti ini.

"Oke," Bryan akhirnya membuka suara, menengahi keheningan yang nyaris membunuh kami semua dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban di benak masing-masing. Dari nada suaranya, sepertinya ia memutuskan untuk membiarkan Sam melakukan apa yang dia mau kali ini. "Yang lain ikut, kan?"

Pertanyaan itu tak menyisakan banyak pilihan. Malah, sepertinya, tidak ada pilihan lain bagi kami selain ikut.

Alhasil, kami pun berbondong-bondong naik ke lantai tiga sambil berusaha tak menimbulkan suara—aku, Alice, Bryan, Rosaline, dan Joshua. Kondisi lantai tiga sepi, nyaris seolah-olah tidak pernah ada hal tak biasa yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Saat kami berbelok ke koridor ruang multimedia pun, masih belum ada keanehan yang dapat diendus. Namun, kurasa, kami sudah siap menghadapi apa pun yang mungkin menanti.

Buktinya, saat mendengar suara langkah kaki di dalam ruangan, kami langsung merapat ke tembok tanpa aba-aba. Rosaline, yang berdiri paling dekat dengan pintu, melongokkan kepala ke dalam pelan-pelan. Tidak ada di antara kami yang bergerak.

Dalam keheningan, kami mulai menajamkan telinga untuk lagi-lagi menganalisa suara yang keluar dari ruangan itu. Awalnya, terdengar bunyi 'klik', disusul suara teredam seperti rekaman. Sesaat berikutnya, terdengar bunyi 'klik' yang sama. Dan...

"Rosa?"

Aku dan Rosaline terlompat nyaris bersamaan. Tanpa menunggu lebih lama, Rosaline segera berlari menjauh dengan panik. Aku masih mematung dengan syok saat yang lain juga memutuskan untuk ikut berlari di belakangnya. Sebelum sempat mengumpulkan kesadaran kembali, sebuah kepala melongok dari dalam ruang multimedia, dan jantungku rasanya nyaris meluncur jatuh ke perut. Aku menoleh perlahan-lahan dengan sekujur tubuh gemetaran. Dan...

...mendapati Andrew sedang menatapku dengan kebingungan.

"Kalian ngapain, sih, lari-lari kayak maling?"

Pertanyaan itu membuat keempat temanku—yang sudah setengah jalan di koridor—menghentikan langkah hampir seketika. Nyaris secara bersamaan, mereka menoleh.

Semua orang menahan napas selama kira-kira dua detik—tak terkecuali diriku.

"Andrew!" Rosaline akhirnya memekik dengan suara dipenuhi rasa terkejut. "Itu... elo?"

"Iya, ini gue," Andrew menjawab datar.

"Lo ngapain di sana?" Bryan bertanya sengit, jelas sekali masih belum melupakan peristiwa kemarin malam yang dapat dibilang merupakan kelanjutan dari insiden saling bunuh yang terjadi hari sebelumnya.

"Kebetulan kalian di sini," Andrew berkata, mengabaikan nada permusuhan dalam pertanyaan Bryan—sekaligus mengabaikan pertanyaan itu sendiri, "Gue nemu bukti. Dan, kali ini, gue yakin gue tahu siapa pelakunya."

***

Kami berdiri dalam keheningan saat suasana horor mulai merambat ke tengkuk masing-masing. Di hadapan kami, tampak seperangkat alat elektronik termasuk komputer, mikrofon, dan panel pengatur yang tersusun rapi di atas sebuah meja panjang. Komputer itu dalam keadaan menyala, dan di layarnya, kotak dialog pemutar rekaman tengah aktif, baru saja selesai memutar sebuah rekaman yang merupakan 'bukti' yang disebut-sebut Andrew.

"Coba," kata Joshua dengan suara serak, "Puter lagi rekamannya."

Tanpa suara, Andrew maju dan mengutak-atik komputer, menekan tombol 'play again' dengan mouse yang terhubung dengan komputer melalui kabel.

Tak lama kemudian, sebuah suara teredam—suara yang sama dengan yang kami dengar di luar tadi—memenuhi ruangan.

"Siapa lo?" Itu suara Rey—terdengar ketakutan dan panik.

Hening.

"M-mau apa lo?" Rey lagi, kali ini nadanya lebih mendesak. "Apa lo yang nyuruh gue dateng jam segini?"

Hening lagi.

"Ng-nggak mungkin, kan? Siapa lo? Gimana bisa lo dapet akses ke e-mail Pak Stenley?"

Kali ini, ada suara berdecit seperti kursi yang didorong ke belakang.

"Jawab gue! Atau gue laporin lo ke Pak Stenley sekarang juga!"

Suara barang-barang jatuh.

"Jangan macem-macem lo, ya! Atau g-gu—"

"Sampah jalanan nggak berguna."

Suara lain. Suara yang mendesis dan dalam. Kemudian, diiringi teriakan keras melengking—yang mengirimkan deja vu tidak menyenangkan bagi kami semua—terdengar bunyi 'jleb' yang memilukan. Sekali, dua kali, dan...

...rekaman itu berakhir.

Lagi-lagi, kami semua hanya sanggup berdiri diam sambil saling berpandangan dalam kengerian yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Lama sekali hanya bunyi desing pelan mesin komputer kuno yang memenuhi udara, menemani kami yang sedang terlarut dalam pikiran masing-masing—mencoba sekeras mungkin untuk pelan-pelan meresapi apa yang baru saja kami dengar.

Hingga akhirnya, seseorang membuka suara.

"Cumague, atau...," Bryan bergumam, "Yang tadi itu memang suara Pak Stenley?"

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang