Chapter Twenty Nine

93 20 0
                                    

Bryan POV

SUDAH kuduga.

Saat aku dan Alice berjalan kembali ke kamar, benakku mulai memutar ulang kejadian-kejadian yang melibatkan cewek itu—dan Andrew.

Sikapnya lain.

Ia menunduk di setiap kata yang diucapkan bajingan tak tahu adat itu. Wajahnya memerah tanpa bahkan ia sendiri sadari. Langkahnya memelan. Semuanya... semuanya...

Aku seharusnya menyadari hal itu sejak awal.

"Lo oon," perkataan Joshua tadi siang bergema di pikiranku, "Jelas-jelas lo naksir Alice. Masa gue duluan yang nyadar?"

"Hah?" aku memekik syok waktu itu, "Nggak mungkin, lah! Gue baru tiga hari kenal dia. Mana mungkin gue suka sama dia?"

"Gue baru tiga hari kenal Bu Sarmi si guru kimia baru itu," katanya, "Mana mungkin dia udah ngasih tugas seabrek-abrek dan bikin seisi sekolah benci sama dia?"

Aku terdiam.

"Lihat, kan?" ia menghela napas berat, "Banyak hal bisa berubah dalam tiga hari singkat. Sifat seseorang, perasaan, semuanya bisa berubah—dalam satu hari, bahkan. Apa lo nggak ingat Gwen? Kalau satu hari itu nggak datang di hidupnya tujuh tahun yang lalu, dia nggak akan sama kayak sekarang ini."

Kalimat terakhir sohibku itu terus terngiang-ngiang di benakku.

Ia benar.

Aku memang suka pada cewek bermata belo di depanku ini—dan perasaan itu datang kala aku sedang lengah, sampai-sampai mataku yang awas tidak bisa melihat kedatangannya.

Mungkin kalau aku menceritakan perihal pertengkaran kemarin malam pada Joshua, ia malah akan menceramahiku lebih banyak lagi. Bagaimana pun, aku tidak bisa. Aku sudah berjanji pada Alice untuk tidak menceritakannya ke orang lain. Sebagai gantinya, Alice setuju untuk tutup mulut soal fakta bahwa si topeng putih adalah pembunuh kedua orang tuanya—aku sendiri yang minta begitu, sebab aku tahu bahwa hal itu akan merunyamkan situasi yang sudah runyam dari awal.

Kami berbagi rahasia, tetapi bukan seperti ini rahasia yang kuinginkan.

"Udah ngambeknya?" Gwen menyambutku dengan pelototan tajam begitu kami berdua menginjakkan kaki kembali ke dalam kamar. Aku hanya mendengus singkat, kemudian melengos, berusaha menyembunyikan ekspresi wajah yang pastinya sedang kacau. "Oke, berhubung semuanya udah ada di sini," Gwen memutar pandangan, "Kita langsung aja ke ruang mulmed."

Suasana langsung berubah hening.

Kemudian, Sam menyeletuk, "Hah?"

"Gwen, lo nggak berpikiran mau menyelinap ke sekolah jam segini lagi, kan?" Joshua bertanya dengan nada tak percaya.

"Dan menurut lo, ruang mulmed itu ada di mana?" Gwen membalas sengak sambil bangkit berdiri tanpa memedulikan tatapan heran yang lainnya. "Kalo kalian lebih takut sama Iris si mulut ember itu daripada topeng putih, boleh-boleh aja nggak ikut. Gue, sih, berpikir lebih baik kasusnya terpecahkan daripada bersikap cemen hanya gara-gara adik kelas bau kencur yang berlindung di bawah nama Pak Stenley."

Kemudian, ia melangkah mendekati pintu keluar, membalikkan badan, dan tersenyum misterius.

"Dan kayaknya...," katanya dingin, "Cuma gue yang bisa berpikir, ya, di sini?"[]

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang