Chapter Twenty Three

109 25 0
                                    

Alice POV

APA yang tercantum di data diri Fellicia tak berguna sama sekali.

Isinya hanya berupa biodata tak penting dan beberapa klip fotonya dari pertama masuk panti sampai sekarang—yang berarti lumayan banyak foto, tapi benar-benar tidak ada yang penting.

"Nggak ada gunanya, nih." Sam menyeletuk sambil meletakkan kertas-kertas di tangannya dengan pasrah, diikuti Andrew yang tampaknya juga sudah mulai lelah dengan semua ini. "Kok, kita nggak ke tempat Iris aja, sih? Nanyain soal rekaman tadi pagi?"

Kami hanya bisa melirik sinis ke arahnya, mengingat nama Iris sudah benar-benar tercoreng nama baiknya di dalam hidupku. Aku tidak peduli ia sebenarnya sebaik apa, tapi perlakuannya pada kami kemarin benar-benar tidak bisa kumaafkan.

"Dia kan yang lapor ke Pak Stenley pas kita nyelinep malem-malem." sahutku ketus sambil memutar bola mata. "Lo mau dilaporin lagi ke Pak Stenley gara-gara masih ngelanjutin investigasi, trus dikeluarin dari sini?"

"Gue setuju sama Alice, kayaknya kita nggak bisa percaya Iris lagi." sahut Bryan.

"Mungkin Iris punya alasannya sendiri. Biasanya dia baik, kok." Rosaline, yang sepertinya paling optimis—atau paling naif—di antara kami ikut angkat bicara.

"Gue nggak peduli, sih, dia aslinya baik atau nggak. Sekalinya penghianat, ya penghianat aja." dengus Andrew.

"Sekalinya suka mukulin cewek, ya nggak bakal berubah." timpal Bryan kembali memulai perang.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka permasalahkan selama ini, dan kenapa dua cowok ini tidak bisa akur satu sama lainnya. Tapi fakta bahwa mereka terus-terusan bertengkar, membuatku ikut jengkel pada perlakuan mereka yang seperti anak-anak.

Di luar perkiraan, Andrew ternyata terlalu lelah untuk menanggapi sulutan Bryan, jadi ia hanya mengacungkan kedua jari tengahnya pada Bryan dengan tampang bete sebelum memutar bola mata dan menyilangkan tangannya di depan dada.

Drrt... Drrt....

Ponselku bergetar memecah keheningan, membuat seluruh pasang mata menatap ke arahku dengan tatapan kaget. Aku merogoh ponselku dari dalam saku dan mengeceknya.

Sebuah email baru dari Pak Stenley.

Jantungku seakan berdetak dua kali lebih cepat. Keringat dingin mengucur membasahi tengkuk dan punggungku. Aku buru-buru memasukkan password ponselku dengan tangan gemetaran, berharap email itu hanya email pengumuman biasa.

Menyadari ekspresiku berubah, Bryan langsung bertanya, "Kenapa, Lice?"

Namun lidahku terlalu kelu untuk menjawabnya, karena isi email tersebut adalah.... Temui saya di kantin sekolah sekarang juga.

"G-Gue... Dipanggil Pak Stenley." kataku sambil menunjukkan layar ponselku ke arahnya, sambil berusaha menahan air mataku yang sudah berada di ujung pelupuk mata.

"Email itu lagi?" Joshua menyeletuk, membuat suasana di ruangan ini menjadi tegang.

"Email apa, ya?" tanya Sam kebingungan sambil berjalan menuju Bryan untuk melongok ke arah layar ponselku.

"Temui saya di kantin sekolah sekarang juga." gumam Sam. "MAMPUS! JADI JONGOS AHAHAHAHA!" pekiknya riang tidak pada tempatnya.

Sebuah jitakan keras dari Bryan langsung mendarat ke kepalanya begitu kalimat itu diluncurkan, membuatnya langsung bete sambil mengusap kepalanya yang baru saja dipukul. "Apa, sih, salah gue. Dijitakin mulu."

"Sam, plis jangan terlalu goblok, deh." hardik Joshua.

Mungkin mereka merasa kesal pada Sam, namun rasanya aku bisa mengerti perasaannya. Lagipula ia tidak di sana saat kita membahas email dari Pak Stenley pada Rey sebelum ia ditemukan bersimbah darah di ruang multimedia.

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang