Chapter Thirty Two

105 26 0
                                    

Sam POV

MEMANG nggak ada gunanya punya teman-teman yang menganggap dirimu dewa super keren yang bisa melakukan apa pun.

Bukannya aku nggak senang dianggap begitu, sih.

Pertama, aku memang super keren, jadi kurasa bagian itu adil. Tapi, aku bukan dewa, dan mereka seharusnya sudah tahu itu sekitar sekarang, kan? Sekeren-kerennya aku, masa aku nggak kelihatan kayak manusia sama sekali, sih?

Kedua, aku nggak bisa melakukan apa pun—tunggu, kalimat ini terdengar salah, deh. Maksudku, aku bisa melakukan banyak hal—pastinya lebih banyak daripada yang bisa dilakukan si nenek-nenek biarawati pedofil (dan homo) atau monster number two alias Andrew Leonardo yang kelihatannya saja garang tapi sudah dua kali membuat episode drama Korea penuh tangisan histeris dalam beberapa hari terakhir ini. Tetapi, nggak semua. Aku nggak bakalan bisa disuruh menyemburkan api perkasa ke langit untuk membunuh serangga sekeras apa pun mencoba, kan?

Yah, bukannya mereka menyuruhku melakukan itu, sih.

Mereka cuma berkata, "Lo aja, Sam, yang jadi umpan di kamar ganti cowok!" dengan wajah sok ngide—yang kuartikan sama berbahayanya dengan menyemburkan api pembunuh serangga.

"Umpan?" protesku tak terima, "Kalian mau gue ngapain? Telanjang bulat dan membuat seluruh popularisasi cowok di sekolah ini jadi homo mendadak?"

"Populasi," si nenek-nenek biarawati pedofil (dan homo) membetulkan dengan gaya anjing-beranak-disengat-tawonnya yang biasa, "Dan, nggak. Bukannya jadi homo, semua orang malah bakal rame-rame ngegotong lo rumah sakit jiwa terdekat. Nggak. Bukan itu."

"Trus," tanyaku sambil mendengus, "Apa?"

"Ya ampun," sohib nenek-nenek biarawati pedofil (dan homo) menghela napas berat, sepertinya tidak kuat menghadapi kharismaku, "Jadi, dari kemarin, lo nggak ngedengerin rencananya, ya?"

Ralat, deh. Kayaknya dia cuma mengira aku tuli.

"Ngedengerin, lah!" pekikku tak terima. Kemudian, hanya ingin memastikan, aku bertanya, "Rencana yang mana?"

Sohib nenek-nenek biarawati pe—ah, kenapa panjang amat, sih, namanya?—oke, sebut saja Bunga, berkata, "Rencana yang udah dibahas lagi tadi pagi, Oon! Salah sendiri lo malah tidur kemarin malem!"

Eh, enak saja dia menyebutku oon. "Emang lo kemarin malem nggak tidur?" teriakku balik.

"Ya tidur!" Bunga berkata, "Tapi—"

"Ya udah! Sama-sama tidur, nggak usah saling protes!"

"Tapi dia tidurnya di kamar, Oon. Lo tidur di ruang mulmed sampe harus diseret balik ke gerbang dan dibangunin seisi kampung!" nenek-nenek biarawati pedofil (dan homo) menatapku datar.

"Alay lo!" tegurku, "Nggak mungkin, lah, gue dibangunin seisi kampung! Emang si Asep ikut ngebangunin gue?"

"Hah?" tanyanya dengan bingung, "Kok bisa sampe Pak Asep?"

"Kan dia gembrot, jadi dihitung tiga puluh orang—alias sekampung!" jelasku.

"Oh, gue laporin Pak Stenley kalo lo ngejek guru biar—"

"Nggak, nggak!" potongku langsung, "Ampun, Mas."

"Ih, Sam. Nada lo kok kayak cewek gitu, sih, jijik gua." si nenek-nenek biarawati pedofil (dan homo) menatapku tak percaya, "Jadi, orientasi seksual lo beneran udah ganti, Sam?"

"Anjir!" pekikku, "Siapa juga yang mau berhubungan seksual sama lo?! Dasar maho mesum!"

"Demi Tuhan!" Bunga ikut-ikutan memekik, "Dia bilang orientasi seksual, Oon! Maksudnya ketertarikan antar jenis kelamin! Bukan hubungan se—ya ampun, gue jijik sendiri mau ngomongnya."

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang