Chapter Thirteen

138 29 2
                                    

Sam POV

TAMPAKNYA Bryan menganggap mencari beberapa lembar biodata di ruang data yang pengap itu sesuatu yang berbahaya.

Buktinya, aku tidak boleh ikut.

Oke, tadi itu sarkasme. Tapi, tetap saja, aku kesal setengah mati ditendang keluar seolah-olah mereka tidak membutuhkan bantuanku. Mungkin memang benar, aku seharusnya tidur di kamar saja tadi. Biar bagaimana pun, bantal asli lebih nyaman daripada meja kayu kelas.

Saat aku sedang sibuk merutuki keputusanku ikut-ikutan menyelinap ke sekolah, Gwen si monster berjalan turun dari lantai tiga seolah-olah aku tidak ada.

"Lo mau ke mana?" tanyaku, takut kalau-kalau saat mereka selesai, aku bakal disalahkan karena dituduh mengusir Gwen. Padahal, boro-boro mengusir, menatap matanya selama lebih dari dua detik saja aku sudah megap-megap. Tapi, mereka, kan, tidak tahu itu. Mereka kira aku cowok pemberani yang hebat. Itu tidak sepenuhnya benar.

Gwen menoleh singkat. "Balik ke asrama," jawabnya cuek. Lalu, tanpa memedulikanku lagi, ia berjalan turun dan menghilang dari pandangan.

Ya udah, pikirku, Masa mau kukejar dia cuma supaya aku tidak dimarahi Bryan dan Joshua si nenek-nenek pedofil?

Pemikiran itu membuatku sedikit lebih tenang. Saat aku menyandarkan tubuh ke tembok balkon, aku mulai meredakan emosi.

Pikirkan sisi baiknya, kataku kepada diri sendiri.

Aku mendapat waktu sendirian yang berharga, yang bisa kugunakan untuk apa saja—selama masih bisa dilakukan di sekitar sini. Aku bisa menjaga Catherine dan—siapa tahu—membuatnya berpikir aku cowok yang pantas ditaksir. Tidak ada monster lapar yang mengerikan. Tidak ada nenek-nenek berkostum cowok cemen. Tidak ada gangguan apa pun. Yang ada hanya aku dan lorong sepi yang gelap ini, serta sebuah lampu kecil yang memancarkan cahaya remang. Angin yang berembus pelan menimbulkan bunyi gemerisik daun di kejauhan. Suara jangkrik terdengar sesekali. Di sebelah kanan, tampak kegelapan panjang yang seakan tak berujung. Di sebelah kiri, tangga yang mengarah ke bawah menimbulkan suasana seram yang mengingatkanku akan film horor...

Kampret. Ini, sih, sama saja aku menakut-nakuti diri sendiri dengan kenyataan.

Aduh. Mana di sini dingin banget, pula. Rasanya seolah-olah ada hantu tak kasatmata yang mengelus-elus tengkukku.

Apa aku lari ke dalam saja dan sok-sok beralasan ada barang ketinggalan?

Ah, tapi apa?

Masa aku menerjang masuk dan berkata, "Sori, tadi gue ninggal karbondioksida hasil pernapasan gue di sini. Ini mau gue hirup lagi. Tapi bakal lama, nih. Soalnya kemarin gue belum fotosintesis"?

Nggak, nggak. Aku bisa membayangkan wajah Joshua berkerut saat dia mengatakan, "Lo tumbuhan, Sam? Apaan, pohon salak?"

Berhubung aku tidak sudi disangka pohon salak, terpaksa aku menyerah pada ide itu.

Saat sedang sibuk memikirkan Rencana B, tiba-tiba saja, sebuah suara menyentakku.

"Lo ngapain di sini?"

Aku tidak melebih-lebihkan saat kukatakan aku menjerit keras sekali sampai kusangka guru yang jaga malam di sini pasti mendengarnya. Untung aku ingat guru-guru itu biasanya lupa jadwal jaga mereka sendiri dan lebih memilih tidur di asrama guru. Kalau tidak, aku pasti sudah lompat dari sini dan mati mengenaskan hanya gara-gara takut jadi sarapan Pak Stenley besok.

Aku masih menjerit heboh saat mendadak kurasakan sebuah pukulan keras di punggung.

"Dasar bego!" Suara yang sama membentakku.

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang