Alice POV
AKU tidak tahu ide gila itu muncul dari mana, tapi sekarang aku merasa bodoh karena sudah menyerahkan diri secara sukarela untuk dibunuh di tempat.
Semua orang langsung menuju ke tempat persembunyian masing-masing begitu sampai di sekolah—yang merupakan langkah pertama yang mudah, berhubung pintu gerbang tidak pernah dikunci kecuali saat malam hari—meninggalkanku bersama Joshua dan Sam, pengawas-pengawasku dalam rencana ini.
Kuhirup napas panjang, lalu mulai mengikuti mereka berdua melangkah masuk perlahan-lahan. Ketika sudah berhasil melakukan hal itu tanpa menimbulkan suara mencolok, kami menyusuri lapangan perlahan menuju tangga lantai dua.
Debaran jantungku serasa terus berpacu sejak menapakkan kaki di area sekolah. Hati kecil pengkhianatku pun terus membisikkan kalau aku tidak akan bisa pulang dengan selamat.
Tenang, Lice. Pembunuhnya belum di sini, kok. Aku berusaha menghibur diri.
Kuhirup napas panjang sekali lagi sambil memejamkan mata untuk membuat diriku serileks mungkin sebelum menaiki tangga menuju lantai dua. Perjanjiannya tadi, aku harus menunggu di kelas XI-A hingga ponselku menerima panggilan masuk. Setelah itu aku harus berpura-pura mengangkatnya dan berbicara sendiri seolah sedang menerima panggilan dari Catherine atau Sam (tapi sesuai perintah Gwen, tidak boleh menyebut nama).
Kami berpisah begitu sampai di lantai dua, dan aku langsung masuk ke kelas serta menempatkan diri di balik meja guru, berjaga-jaga kalau si topeng putih ternyata sudah sampai tanpa sepengetahuan salah satu dari kami.
Sebenarnya aku sedikit bertanya-tanya. Kalau orang di balik topeng putih itu seorang cowok, bukankah dia akan menuju ke kelas XI-B?
Ah, tapi aku kan anak baru. Mungkin dia bakal mengira aku masih suka salah masuk kelas atau apa. Kalau tidak begitu pun, aku bisa mencoba berimprovisasi dengan dialogku.
Sepuluh sampai lima belas menit berlalu. Aku mulai bosan dan lelah berjongkok. Otot-otot kakiku terasa sangat pegal dan kaku hingga rasanya aku hampir mematahkan keduanya. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk berdiri dan berpindah tempat saja.
Kriing... Kriing...
Baru berjalan beberapa langkah, ponselku sudah berdering. Kuraih benda tersebut dari saku untuk mengeceknya.
Panggilan masuk dari Bryan.
Tentu saja.
Cowok itu berjaga di lantai satu. Kalau ia sampai menelepon, berarti kemungkinan besar poin utama dari rencana ini sudah berhasil : memancing topeng putih ke sekolah.
Tapi, mana dia? Pikirku. Aku tidak mendengar apa-apa.
Baru saja aku berpikir demikian, terdengar suara langkah kaki di kejauhan luar. Awalnya pelan, lalu bertambah keras seperti sedang terburu-buru menaiki tangga. Namun, itu hanya suara langkah kaki tunggal.
Mataku langsung terbelalak.
Oh, tidak. Di mana Joshua? Di mana Sam?
Mengingat Joshua dan Sam—orang yang seharusnya menjagaku dari serangan mendadak—tidak ada di saat genting seperti ini, membuat jantungku kembali berpacu. Tanpa kusadari, keringat membasahi wajah dan tengkukku—membuatku basah kuyup hampir seketika. Tubuhku gemetaran, kepalaku mulai dipenuhi dengan kalimat pesimis yang membuat konsentrasiku hancur.
Aku terdiam di tempat seperti orang bodoh sampai menyadari ponselku masih berdering. Aku menekan tombol tutup, tetapi menempelkan ponsel itu ke telinga dan berkata, "Halo?"
Suaraku bergetar.
Aku berdeham sejenak sebelum akhirnya menyambung. "Anu, barang yang lo tinggalin di mana sih? Kelas bagian mana—kok gue nggak bisa nemuin?"
Setelah memberi jeda agak panjang, aku baru menjawab, "Meja paling depan? Kelas A, kan? Yang di kiri ya kelas A?"
Aku jelas tidak berani menatap ke luar jendela saat ini. Belum.
"Oh, di situ toh. Nggak apa-apa, kok. Lagipula, hari ini gue nggak ada kerjaan. Lo tenang aja, deh."
Kutelan ludah, lalu memasukkan kembali ponsel ke dalam sakuku. Aku berjalan menuju meja tempat di mana Catherine biasa duduk saat pelajaran—benar, meja paling depan—untuk berakting seolah sedang mencari barang di lacinya.
Hening. Sangat hening.
Entah kenapa ketakutan mulai merasuk ke dalam batinku.
Ke mana semua orang? Kenapa tidak ada sedikit pun tanda-tanda keberadaan mereka di sini? Bagaimana kalau mereka ternyata lalai dan akhirnya si topeng putih berhasil menangkapku seperti yang ia lakukan pada Rey? Atau Fellicia?
Pikiran itu membuat tubuhku kembali gemetaran. Dapat kulihat sendiri tanganku yang mulai merogoh laci bergetar hebat. Meskipun tubuhku tengah menunduk dan menghadap laci meja yang sebenarnya kosong, mataku melirik ke arah jendela.
Di sana, berdiri sebuah sosok yang kebetulan juga sedang menengok ke arahku.
Sosok itu berjubah hitam panjang. Matanya tertutup bayangan hitam dari topeng putih yang dikenakannya. Ekspresi topeng itu sendiri kosong, membuatnya tampak sepuluh kali lipat lebih menyeramkan.
Itu dia.
Kami berjengit kaget bersamaan.
Aku melihat Joshua dan Sam berdiri di belakang si topeng putih, bersiap menyergapnya. Tetapi, berhubung tidak sadar, si topeng putih berjalan ke arahku—dan aku secara otomatis membuat kesalahan besar dengan melirik penuh permohonan pada orang-orang yang seharusnya menjadi penolongku itu.
Si topeng putih langsung sadar bahwa aku bukan satu-satunya orang yang berada di sekitar sini. Ia pun berbalik, tapi Joshua dan Sam sudah tinggal beberapa senti dari tempatnya berdiri. Seharusnya mereka berhasil. Sayangnya, karena kaget dan reflek mereka kalah cepat, kesempatan itu dimanfaatkan oleh si topeng putih. Ia segera lari ke arah berlawanan, tidak memberi kesempatan bagi kami untuk bereaksi.
Dan dengan begitu, aku sudah resmi menghancurkan plan A.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Terror of the White Mask
Misterio / SuspensoCompleted. #13 in pembunuhan (10 Mar 2022) [WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sebuah panti asuhan elit di kota Jakarta. Di situlah kasus-kasus mengerikan terjadi. Di sekolah yang dibangun...