Chapter Twenty Four

88 24 0
                                    

Andrew POV

CEWEK bermata belo itu benar-benar menyebalkan.

Seharusnya ia tahu suasana hatiku sedang buruk dan tak ingin diganggu, tapi ia malah mengikutiku sejauh ini sampai di lantai tiga sekolah. Parahnya, ia masih menganggap penyamaran buruknya itu berhasil mengelabuiku. Masa iya, ia mengikutiku dengan membawa-bawa pot berisi tanaman pakis dan bersembunyi di baliknya setiap aku menengok ke belakang? Itu kan... konyol.

"Udah, keluar aja. Gue tahu lo ngikutin gue." Kataku sambil berbalik dan bersidekap.

Cewek itu malah mengeluarkan suara seperti tikus terjepit lalu keluar secara slow motion.

"Lo mau ngapain, ngikutin gue kayak gitu?" Tanyaku to the point—membuatnya gugup bukan main. "Udah, balik aja sama yang lain sono."

Usiranku itu malah dibalas dengan tatapan mata berkaca-kaca yang memuakkan.

Ada apa sih dengan cewek ini?

Daripada emosiku meluap karena meladeninya, aku segera memercepat langkah menuju ke ujung lorong gelap di samping ruang guru yang digosipkan anak-anak sebagai lorong tempat hantu pembunuh tahunan itu bersemayam—serius, mereka memang kadang-kadang kembali ke dugaan bahwa pembunuhnya benar-benar makhluk halus.

Jangan berpikir macam-macam dulu.

Sebenarnya, lorong ini membawa kita menuju sebuah tangga darurat tua yang terbengkalai dan berdebu. Dan dari situ, ada sebuah pintu lagi—letaknya agak tersembunyi, sih—yang akan membawa kita menuju ke rooftop sekolah. Tidak banyak yang tahu kalau sekolah ini sebenarnya punya rooftop yang cukup nyaman sehingga tempat ini selalu kosong dan sepi. Tempat ini sudah menjadi semacam tempat pribadiku di mana aku bisa bersantai ria tanpa diganggu kapan pun—termasuk saat pelajaran berlangsung sekali pun (yang memberi penjelasan mengapa aku sering sekali bolos).

Dan soal gosip lorong berhantu tadi itu... sebenarnya berakar dari cerita seorang kakak kelas yang iseng naik ke tangga darurat lantai tiga. Ia lalu mendengar suara-suara aneh dari luar. Tapi biar kuberitahu kalian. Sebenarnya, suara-suara itu bukan suara makhluk astral. Suara itu benar-benar berasal dari manusia biasa—yang tak lain dan tak bukan adalah Andrew Leonardo.

Tidak. Aku tidak beniat menakutinya, apalagi menyebar gosip semacam itu.

Jadi, saat itu aku tengah tertidur pulas. Tanpa kusadari, aku mendengkur. Suaraku menggema saat masuk ke tangga darurat yang tertutup rapat itu, dan menimbulkan bunyi-bunyian, yang katanya terdengar seperti Boogey Man.

Oke, jadi intinya hantu itu tidak ada dan gosip itu tidak benar.

Kudorong pintu besi tua berkarat menuju rooftop kuat-kuat, membuatnya menimbulkan suara bising lumayan keras yang—anehnya—tak pernah mengundang perhatian siapa pun meski ruang guru hanya terletak beberapa meter dari sini. Guru-guru pemalas itu memang tidak pernah benar-benar jaga malam—walaupun mereka sudah gembar-gembor bakal meringkus siswa mana pun yang berani-berani berkeliaran di lingkungan sekolah maupun asrama malam-malam (dipikir-pikir, mereka bahkan tak ada di asrama saat teror burung gagak itu ditemukan, padahal teriakan Sam dan Catherine dijadikan satu pasti bakal terdengar paling tidak sampai ke gerbang luar).

Aku segera keluar ke rooftop sekolah lalu menaiki tempat penyimpanan air yang cukup lebar untuk berbaring (omong-omong, bentuknya kubus). Di atas sinilah tempatku sering nongkrong dan menenangkan diri. Memang tempat yang sempurna. Ada beberapa bintang, pula, saat malam—walaupun sekarang sudah hampir tidak kelihatan.

Baru saja kupejamkan mata, gangguan lain sudah muncul. Pintu besi berderak bising, membuatku benar-benar terusik.

"Didorong, bukan ditarik!" bentakku sambil mendengus keras-keras.

Pintu itu pun langsung terbuka, memunculkan sosok mungil si cewek bego yang dikucir dua itu.

"Mau apa lagi?" Tanyaku kesal sambil meliriknya dengan tatapan sesinis mungkin, berharap ia akan ngacir kabur sebelum sempat menggangguku.

Ia tidak menggubris pertanyaan itu karena terlalu sibuk dengan usahanya menyusulku. Ia melompat-lompat pendek sambil menggapai-gapai puncak dari tempat penyimpanan air ini, namun usahanya tentu saja gagal.

"Siapa suruh punya badan pendek kayak gitu?" candaku.

Tapi sepertinya, ia menanggapi candaanku dengan terlalu serius. Mukanya berubah garang, alisnya yang tipis bertaut di atas mata belonya yang disipitkan.

Merasa terganggu dengan tatapannya itu, akhirnya aku berkata, "Sorry, deh... Gue nggak bermaksud gitu, serius."

Setelah aku mengatakan kalimat itu, ia tampak lebih baik.

Namun, semangatnya untuk menyusulku ke atas sini sudah hilang sama sekali—ia memilih duduk bersandar di bawah, di samping rongsokan-rongsokan berdebu yang bahkan tidak pernah kuperhatikan.

"Siniin tangan lo." Kataku singkat.

"Mau ngapain?" Ia menatapku curiga.

"Cuma mau ngebantu lo naik ke sini. Ketimbang lo jadi kayak pemulung yang merenung di antara rumah rongsokannya yang indah."

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Alice mengulurkan tangan mungilnya ke atas. Segera kugapai tangannya dan kubantu ia naik bersamaku di atas sini. Aku tak menyangka tubuhnya seringan itu, serius. Tubuh mungilnya itu mungkin hanya seberat tiga sampai empat puluh kiloan. Yah, siapa yang tahu? Kukira ia lebih berat daripada ini, atau setidaknya...

"Udah puas lo sekarang?" Tanyaku sambil kembali berbaring malas. "Dasar tukang kepo."

Alih-alih menjawab, ia malah ikut berbaring di sampingku. Matanya menemui mataku dan menatapku dalam-dalam—membuat bulu kudukku meremang.

"Apaan lo lihat-lihat?" Tanyaku sambil menaikkan satu alis. "Ganggu aja."

Ia malah mematung seakan-akan jiwanya baru pergi melayang entah ke mana.

Akhirnya aku membalikkan badan untuk menghindari kontak mata darinya.

"Ndrew."

Kulirik cewek menyebalkan itu, dan yang menatapku kembali adalah sepasang mata yang dipenuhi rasa penasaran.

Pertanyaan apa lagi kali ini—saat aku berniat menikmati waktu santai tanpa diganggu?[]

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang