Chapter Twenty Two

95 24 0
                                    

Joshua POV

SAM menunduk dalam-dalam. Rambutnya yang sudah agak panjang dibiarkan meninggalkan bayangan di wajah, membuat kami kesulitan menerka ekspresi apa yang tengah ia tampakkan.

Saat ini, kami berenam—termasuk Andrew, yang entah mengapa berhasil 'menyelamatkan' Sam duluan daripada kami—tengah duduk mengelilingi bocah itu di samping kasur Catherine, yang masih tertidur sejak teriakan heboh Alice yang menjeritkan, "Pingsan! Catherine pingsan!" setengah jam lalu (ia sempat siuman dua menit setelahnya, kemudian kami memutuskan lebih baik ia istirahat dulu saja, karena yang barusan terjadi itu pasti meninggalkan tekanan yang tak bisa diremehkan).

Sam.

Seharusnya, bocah itu mendapat tekanan yang sama. Tetapi, berhubung ia tidak mau jujur terhadap kami sejak tadi, interogasi ini menjadi tak terelakkan.

Bicara soal 'jujur', kecurigaanku dan Bryan sejujurnya sudah bermula sejak ia mulai bertingkah aneh pagi tadi.

Ada apa?

Apa ia menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya?

Pertanyaan itu berkembang saat ia memutuskan untuk tidak ikut menyelidiki TKP. Ia jelas-jelas menyembunyikan sesuatu. Tetapi, berhubung tidak ada bukti yang terlalu kuat soal itu, kami memutuskan untuk membiarkan saja ia melakukan apa yang ia mau sampai merasa siap untuk memberitahu kami.

Namun, hal itu berpuncak saat aku dan Bryan melihat jejak darah kering menuju kamarnya.

Bryan mendengar teriakan—pelan, sampai-sampai aku sendiri tidak mendengarnya. Kemudian, kami meminta Alice dan Catherine untuk naik duluan, sementara kami membahas masalah ini—perlu tidaknya mengecek keadaan Sam di kamar. Aku, yang tahu rasanya dituduh menyembunyikan sesuatu tanpa benar-benar mengerti apa pun (lagi-lagi, dari pengalaman bersama Gwen), bersikeras untuk membiarkan saja Sam sampai besok pagi. Bisa dibilang, kami mengadakan perdebatan singkat di sana.

Lalu Catherine berteriak.

Dan... yah, satu hal menuntun ke hal lainnya. Di sinilah kami sekarang, menuntut jawaban atas pertanyaan yang telah membebani kami tentangnya seharian ini.

"Gue lihat pelakunya," Sam mengaku. Suaranya lirih dan lemah saat mengatakan hal yang sudah kutebak itu. "G-gue... gue kepagian, dan toilet di bawah masih dikunci, jadi gue naik, dan- dan..."

Kami semua saling berpandangan. Rasa kasihan merambati sekujur tubuhku, membuat napasku terasa lebih berat.

Aku memang tidak selalu menyukai Sam, tetapi melihat kondisinya saat ini, aku tahu dia ketakutan. Semua ini pasti bukan hal yang diharapkannya, dan mengikuti penyelidikan pun mungkin bukan benar-benar keinginannya sejak awal. Bocah itu hanya peduli soal kesenangan dan ingin terlihat keren di mata Catherine, jadi aku bisa membayangkan betapa tidak siapnya ia untuk benar-benar menyelam lebih dalam ke kasus-kasus rumit ini.

"Dan lo... lihat kejadiannya," Alice melanjutkan kalimat itu untuk Sam.

Di luar dugaan, bocah itu menggeleng. "Nggak sampe segitunya," katanya, "Gue cuman lihat pas orang itu keluar dari ruang mulmed. Di tangannya ada pisau berdarah-darah, gitu. Trus... trus dia—"

"Dia lihat elo?" Andrew bertanya langsung.

"A-awalnya gue nggak yakin, tapi—" Sam menyusun kata-kata. Napasnya tak beraturan dan ia mulai berkeringat. "Tapi, setelah dapet teror burung bangkai itu, gue jadi yakin kalo dia pasti lihat gue."

"Bangkai burung gagak, maksud lo?" Andrew bertanya lirih.

Sam mengangguk. "Itu, lah," katanya, "Sama aja, kan?"

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang