Chapter Forty one

135 23 2
                                    

Bryan POV

WILLIAM Lee berdiri tegak di atas tempat penyimpanan air-jubah hitamnya berkibar-kibar dan matanya dipenuhi kelelahan yang kentara, tetapi itu dia. Itu jelas dia.

Begitu melihat seringainya yang seperti tanpa jiwa, semua kata-kata yang sudah hendak kukeluarkan tersangkut di tenggorokan.

Pemandangan ini begitu aneh, begitu tidak dapat dipercaya-begitu... surreal. Saat mengikuti Alice dan Andrew naik kemari, sama sekali tidak terlintas di benakku bahwa aku akan dikejutkan oleh si topeng putih itu sendiri. Aku tidak punya gambaran lain lagi dalam bayangan selain menarik topeng itu terbuka dan menampakkan wajah pelaku asli yang bertanggung jawab atas semua kekacauan di sekolah dan asrama beberapa hari ini.

Tetapi, di sanalah ia-dengan sukarela membuka sendiri tudung jubah dan topengnya yang legendaris itu, menatap kami tanpa rasa takut di kedua mata sipitnya. Rambut cepak berukirnya yang sudah mulai agak memanjang tampak cokelat diterpa sinar matahari.

Tapi... kenapa? Pikirku.

Aku tahu Willy seorang berandalan dan sebagainya-aku juga tahu dialah yang menyeret Andrew untuk ikut-ikutan jadi anak nakal-tapi... kenapa dia? Semua korban yang telah jatuh-Fellicia, Rey-adalah orang yang penting bagi Andrew. Bagaimana bisa dia tega melakukan hal sekeji itu terhadap orang-orang terdekat sahabatnya?

"Kayaknya Willy punya." Mendadak, aku teringat perkataanku sendiri di malam penyelidikan kami yang pertama-saat Gwen menemukan anting yang tinggal sebelah di sudut tangga. "Tapi, dia emang cuman pake sebelah aja. Dan itu buat gaya-gayaan."

Seharusnya aku tidak seyakin itu bahwa dia bukan pelakunya.

Tapi, suatu pertanyaan muncul di benakku, Dari mana dia mendapatkan antingnya kembali? Dan kenapa anting Kesha juga ikutan hilang di hari itu? Apa semua ini cuma kebetulan?

"Apa muka gue seganteng itu? Atau anting gue sebagus itu?" si pelaku berkata santai-dan mataku langsung melebar saat sadar ia tahu aku sedang memikirkan tentang antingnya, "Kalau jawabannya enggak, mending kalian berhenti terheran-heran. Andrew udah tahu siapa gue, jadi kalau pun gue nggak membongkar identitas sendiri, toh dia bakal melakukannya kemudian, kan?"

Perkataan itu, dan bagaimana ia menyebut Andrew dengan namanya alih-alih 'lo', membuat Andrew sadar bahwa aku dan Alice sudah berada di belakangnya-di bawah tempat penyimpanan air. Ia menoleh perlahan-lahan, dan dapat kulihat air mata hampir menetes dari kedua pelupuk mata itu.

Aku benci mengakui ini, tetapi sekarang kurasa aku agak kasihan terhadapnya.

"Ndrew, minggir," kataku-dan langsung menyesal karena nadaku terdengar jauh lebih kasar daripada yang kuharapkan (padahal niatku bukan untuk mengusirnya), "Biar gue aja yang bicara sama dia."

"Tapi-"

"Tugas lo udah selesai," potongku, "Lo udah sampe sejauh ini."

Andrew masih tampak ingin membantah, tetapi setelah berpikir sejenak, mulutnya dikatupkan kembali, dan ia pun melompat turun dari tempat penyimpanan air dengan sebersit sorot berterima kasih di matanya yang berkaca-kaca. Alice langsung menghampirinya dengan khawatir, tetapi ia hanya menepis tangan cewek itu dengan kasar-kali ini aku tidak akan berkomentar apa-apa karena tindakannya itu beralasan.

Tanpa terburu-buru, aku memanjat naik ke tempat penyimpanan air itu dan ganti berdiri berhadapan dengan Willy-luka di tanganku masih terasa luar biasa sakit, tetapi kutahan mati-matian perasaan itu. Dari sini, wajahnya tampak semakin kacau saja-walaupun dalam kasus ini, aku sama sekali tidak merasa kasihan, melainkan jijik. Ia menatapku datar dengan kepala didongakkan-masih saja punya kepercayaan diri yang sulit dipercaya.

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang