Chapter Nineteen

142 24 0
                                    

Joshua POV

AKU tidak pernah memercayai Andrew Leonardo.

Tidak. Sungguh. Ini bukan hanya gara-gara ia ada masalah serius dengan sohibku—walaupun itu mungkin bisa dijadikan salah satu alasan yang cukup menunjang.

Sejak kecil, aku memang tidak terlalu menyukainya.

Ia pernah menantangku berkelahi lantaran kalah main kartu saat kami kelas lima—hal yang mungkin bahkan sudah dilupakannya saking seringnya ia menantang orang berkelahi. Berhubung aku merasa tidak salah apa-apa, aku menolak tantangan itu. Alhasil, ia menghampiri sepulang sekolah dan menonjokku—sekali, tepat di hidung. Tonjokan itu sakit luar biasa, dan aku mengingatnya sebagai tonjokan pertama dan terakhir yang pernah membuat hidungku mengeluarkan darah sebanyak itu.

Aku masih merasa hidungku rada-rada bengkok sampai saat ini, tetapi itu tidak lebih penting daripada kesan yang kudapat tentangnya sejak saat itu.

Ia berandalan yang mau menang sendiri.

Maka, saat nyawa Bryan nyaris berakhir di tangannya dua hari yang lalu, aku tidak sekaget itu. Orang macam Andrew pasti bakal melakukan apa saja asal tujuannya tercapai—mungkin bahkan membunuh orang yang berpotensi memimpin negara di masa depan (hey, Bryan memang sepintar itu, tahu?) Aku sendiri tidak terlalu setuju dia ikut menyelidiki kasus rumit ini. Selain keberadaannya tentu adalah sebuah gangguan besar—yang sulit diabaikan—aku juga tidak bisa bilang dia bukan pelakunya.

Oke. Aku tidak suka menuduh. Tetapi, kemungkinan itu, kan, ada. Aku tidak bakal mengatakan dia tidak cocok untuk peran itu.

"Lo ngapain lihat-lihat?"

Aku tersentak kaget saat suara cempreng Andrew tiba-tiba terdengar. Nyaris saja kakiku berhenti melangkah—yang pasti bakal menimbulkan kekacauan sesaat, sebab Alice dan Rosaline berjalan tepat di belakangku dan pasti bakal menabrakku kalau saja aku melakukannya (aku sedang tidak berminat menciptakan domino manusia).

Aku mungkin tidak sesiap yang kukira, tetapi hal seperti ini sudah ratusan kali kuhadapi saat bersama Gwen, jadi kurang-lebih aku sudah terbiasa.

"Itu item-item di hidung lo apaan?" tanyaku senatural mungkin.

Dahi Andrew langsung berkerut. "Mana?" tangannya meraih hidung dan membesutnya, mencari benda hitam khayalan yang kusebut-sebut dengan penasaran.

"Udah," kataku, "Udah jatuh." Andrew sepertinya curiga, karena detik selanjutnya, ia menatapku aneh. Tetapi, sebelum sempat mulutnya membuka untuk melontarkan pertanyaan, aku memotong, "Ini bukan, kamarnya?"

Mulut Andrew menutup kembali, tepat saat kami berenam menghentikan langkah di depan sebuah pintu kayu bertuliskan 313—rupanya hanya terpaut dua pintu dari kamarku. Di bawah angka-angka timbul itu, terdapat tempat menyisipkan kertas—seharusnya diisi penunjuk identitas penghuni kamar—yang isinya sudah lenyap entah ke mana. Pintu itu tampak tak ada bedanya dengan pintu-pintu lain yang berderet di lorong—termasuk pintu kamar kami masing-masing—kecuali gagangnya sudah pernah rusak dan kini dihiasi pegangan pengganti berupa kayu tua jelek yang diikatkan menggunakan tali rafia hitam ke tempat patahnya gagang pertama.

"Iya," Andrew berkata. Binar di matanya meredup saat ia memandang pintu itu, "Ini kamarnya."

Alice bergumam canggung, "Kita ngetuk, atau...?"

"Ketuk aja," kata Bryan. "Orangnya pasti ada, kan, di dalem?"

Suasana kembali hening saat semua orang mulai mempertimbangkan untuk mundur saja—mungkin karena tidak ada yang benar-benar mengenal si empunya kamar kecuali Andrew.

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang