Chapter Thirty Nine

98 23 0
                                    

Alice POV

AKU cuma bisa menjadi patung pajangan di kala semuanya sedang beraksi.

Saat Andrew berhasil menangkap si topeng putih, aku tertinggal jauh di belakang dan berakhir melewatkan aksi heroik itu. Saat Joshua bertarung sengit dengan si topeng putih, aku juga cuma bisa menonton dari kejauhan seperti hiasan dinding. Dan saat mereka mengejarnya lagi—yah... aku cuma dapat peran sebagai satpam penjaga gerbang.

Memang, sih, Rosaline juga ada di sini. Tapi dia kan memang perlu istirahat, sedangkan aku sudah beristirahat saat bersembunyi di aula tadi. Seharusnya aku bisa all-out lagi sekarang, tapi aku tetap cuma nongkrong saja di sini—karena toh topeng putih rasanya tak bakal ke sini.

Aku mulai merasa jadi beban bagi semuanya.

Bahkan peranku untuk jadi umpan juga hancur berantakan karena aku tidak sengaja melirik tempat persembunyian Joshua—yang membuat si topeng putih langsung menyadari kalau ia sedang dijebak. Kalau saja aku melakukannya dengan benar, pasti kita sudah menangkap pelakunya sejak tadi—tidak perlu pusing-pusing mencari plan B atau C.

Aku menghela napas panjang sambil menjatuhkan diri di gerbang sekolah, menimbulkan bunyi yang cukup keras untuk membuat Rosaline berjengit kaget.

"Lo nggak apa-apa, Lice?" Tanyanya dengan napas tercekat.

"Nggak apa-apa, kok. Cuma capek aja." Jawabku sambil memaksakan seulas senyum.

Rosaline tertawa kecil sebelum melanjutkan, "Gue juga capek. Tapi toh seru kejar-kejaran gini."

Bakalan nggak seru kalo si topeng putih tiba-tiba ngebunuh salah satu dari kita, sih.

Aku ingin mengatakan kalimat itu, tapi aku tidak mau mematahkan semangatnya yang membara, jadi aku cuma ikut tertawa kecil sambil mengangguk.

Dari ekor mata, dapat kulihat Joshua yang sudah kehabisan tenaga akibat ditendang bagian semsitifnya, masuk ke dalam lapangan indoor—sepertinya ingin mengistirahatkan diri.

"Eh, Sam mana, ya, kok kayaknya nggak kelihatan?" Rosaline membuka pembicaraan lain.

Benar juga, sih. Sejak ditarik Bryan tadi, aku sudah tidak melihatnya lagi. Padahal tadinya ia berlari tepat di depanku.

"Nggak mungkin, kan, dia pulang buat tidur siang?" Rosaline menyambung saat menyadari aku tak kunjung menjawab.

"Kayaknya nggak mungkin, sih. Soalnya dia nggak mungkin balik ke asrama tanpa ngelewatin lapangan ini, kan? Nah, padahal gue nggak lihat dia dari tadi," jawabku. "Eh, tapi bisa aja, deh. Mungkin pas gue nggak merhatiin."

Rosaline mengangguk setuju.

"Kalo Gwen, lo lihat nggak?" Tanyaku memerpanjang penbicaraan kami.

Ia menggeleng. "Sejak gue sampe sekolah, Gwen sama sekali nggak kelihatan. Malah, gue ragu kalo dia ikut masuk ke sini."

Benar juga. Sejak aku menginjakkan kaki di sekolah, aku belum melihat cewek misterius itu sekali pun. Terakhir aku melihatnya hanya saat berada di ruang CCTV—di mana ia menggemparkan semua orang dengan mengambil alih wewenang Bryan untuk membagikan tugas.

"Tapi, aneh nggak sih? Dia selalu jadi saksi pertama, trus pas kita nyelidikin, dia jarang ikut juga. Gimana nggak mau dicurigain coba kalo tingkah lakunya kayak gini? Ya, nggak?"

"Iya, sih... Tapi Andrew nggak mungkin kalah tinju-tinjuan sama Gwen, kan? Dan dari postur si topeng putih, kayaknya dia cowok. Jadi, kemungkinan besar bukan Gwen pekakunya." Belaku.

"Oh, iya. Andrew, kan, undefeatable."

"Dan nggak ragu-ragu buat mukul orang."

"Dan serem."

Kami tertawa sejenak, lalu sebuah pertanyaan mengusikku. "Tapi siapa yang bisa kabur dari Andrew?"

Rosaline terdiam sebentar, mencari-cari orang yang mungkin bisa mengalahkan Andrew dalam pertarungan. "Entahlah," katanya pada akhirnya, "Yang pasti dia kuat. Walaupun nggak setinggi Andrew, tapi dia bisa lari cepet—mungkin atlit atau berandalan lain? Dan yang paling mirip sama ciri-ciri itu, sih, Luke."

"Luke? Siapa itu?" Tanyaku, memiringkan kepala mendengar nama yang terasa familier itu.

"Anak kelasku," jawabnya, "Emang lo nggak inget, Lice? Beberapa hari yang lalu, pas gue... um, disiksa anak-anak cheers, kan, Luke ada di sana juga. Rambutnya panjang—nyentrik anaknya. Dia wakil kapten basket juga, sih, denger-denger."

"Oh!" aku tersentak, "Yang itu? Pantes, gue kayak pernah denger gitu namanya."

"Iya," katanya, "Tapi kalo dari bukti yang kita kumpulin, Luke nggak bisa dimasukin nominasi, sih. Jadi mungkin orang lain." Ia kemudian menyambung lagi tanpa disuruh. "Kalo menurut lo, gimana?"

"Nggak tahu. Gue, kan, baru masuk beberapa hari—belum kenal banyak orang juga. Kalo lo tanya gue, siapa cowok yang bisa nandingin Andrew, gue sih cuma bisa bilang Bryan orangnya." Jawabku sekenanya. "Tapi bukan berarti gue bilang si topeng putih tiruannya Bryan, loh."

Rosaline terkekeh lagi. Lalu tiba-tiba ia berhenti sejenak, seperti tersentak kaget akan sesuatu. "Eh, lo jaga di sini bentar, ya. Gue harus ke kamar mandi, nih."

Aku tersenyum canggung lalu mengangguk.

Setelah itu, aku pun menjadi satpam penjaga gerbang tunggal.

Lama sekali Rosaline tidak kembali. Bosan, kudongakkan kepala untuk melihat ke lantai dua. Sedari tadi terdengar suara berisik dari sana, dan aku hanya bisa bertany-tanya, Apa, sih, yang sedang mereka lakukan?

"AWAS!!!" Sebuah suara membuatku tersentak kaget.

Aku tahu jelas itu suara siapa, dan aku tahu jelas apa arti kalimat itu.

Seseorang dalam bahaya.

Tanpa kusadari, kakiku sudah melangkah menyusuri lapangan.

Paling tidak aku bisa berguna sekarang.

Paling tidak, aku bisa menolongnya—seperti dia menolongku saat itu.[]

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang