"Sisi, om sedang tidak ingin bercanda. Kamu sudah besar, sudah remaja. Dua bulan lagi usiamu sudah 18 tahun kan?."
Sisi mengangguk.
"Sisi ngga bercanda om ganteng, sisi tadi tanya karena dapet informasi dari om kalau papa disini."
"Itu om tanya sisi, papamu ada dijakarta? Di kota ini?"
"Kata pak Supri, papa ada pertemuan di singapura. Jadi ngga bisa pulang nemuin sisi tapi papa janji nanti waktu sisi tiup lilin papa akan pulang."
"Pertemuan apa?"
"Yah pertemuan om, yang ngelibatin banyak orang. Bisnis."
Axel menghela nafas kesal.
"Kamu tidak khawatir sama papamu?"
Sisi menggeleng.
"Sejak kecil papa memang jarang pulang om. Tapi papa selalu nepatin janji untuk pulang saat sisi tiup lilin."
Axel mengacak rambut sisi.
"Om, jangan diacak, sisi jadi kebelet pup."
Axel tercengang melihat gadis itu berlari kearah kamar mandi setelah terdengar bunyi yang sangat familiar ditelinganya.
Sialan bocah, bau kentutnya ngga bikin nagih.
---
Jika, jika yang diterka Axel benar.
Harus bagaimana dia menanggapinya. Malam semakin larut dan pikiran nya semakin tak karuan. Berganti pakaian olahraga, Axel memutuskan untuk berolahraga.Lari nya tak stabil, Axel menyadari karena nafasnya tak beraturan. Kepalanya semakin pening. Harusnya dia tidak usah peduli karena sisi, gadis itu hanyalah sepupu teman terbaiknya.
Harusnya, dia tidak usah khawatir.
Harusnya, dia tidak perlu ikut gelisah.Axel sudah tak dapat menahannya lagi. Diraihnya handphone dan memanggil seseorang.
Harusnya, dia tidak perlu ikut campur sebanyak ini.
Harusnya.---
RS Mount Elizabeth, Singapura.
Axel menggosok hidungnya yang tak gatal, ruangan VIP didepannya serasa mengerikan.
Belum sampai tangan Axel akan mengetuk, pintu didepannya sudah terbuka.
Dia Samandanu Tjahaja bersama sang istri. Pengusaha ternama di Indonesia itu berada dikursi roda tetap tidak mengurangi ketegasannya, yang Axel tau hampir ribuan orang yang menggantungkan hidupnya pada pria tersebut.
Menutupi keterkejutan nya. Axel merasa tenggorakkannya menjadi kering. Harusnya dia tidak sepenasaran ini tetapi semua sudah terjadi. Sudah seharunya percakapan sebelumnya dilanjut.
Karena axel tidak bisa melupakan semudah itu percakapan dengan pria dihadapannya ini.
Ada banyak pertanyaan yang harus dia temukan.
---
"Saya tahu kamu cerdas, tapi saya tidak pernah menyangka kita akan bertemu dalam keadaan saya yang seperti ini."
Dua kali Axel bertemu pria ini dan sebanyak itulah jantungnya berdetak tak karuan.
Kenyataan akan terpapar dihadapannya."Kanker paru stadium 4b. Saya sudah berusaha melawannya namun Tuhan berkata lain. Saya sudah tidak bisa sembuh Axel. Satu satunya orang yang bisa menjaga sisi adalah kamu."
Axel terdiam, tidak berniat menanggapi.
"Satu-satu nya yang bisa menjaga sisi setelah saya tiada adalah kamu, nak."
"Sisi punya mamanya, itu seharusnya cukup," Axel tak peduli lagi jika nada suaranya terdengar membentak.
Persetan dengan semua itu. Ini perihal masa depan nya.
"Jika kamu tidak peduli dengan sisi seharusnya kamu tidak disini hari ini. Dengan kamu berada disini saya tahu kamu peduli pada anak saya."
"Saya hanya penasaran."
"Ada satu hal yang saya rahasiakan dari sisi, jika hidup saya berakhir sebelum berbicara mengenai ini padanya maka kamu harus mewakilkan saya untuk meminta maaf."
"Axel, kamu mau kan menyampaikan permintamaafan saya."
Pria paru baya itu menekan dadanya, membuka mulutnya, meraup udara sebanyak-banyaknya membuat Axel sadar pria dihadapannya ini benar benar sekarat.
Sial.
Dadanya terasa sakit menyadari bahwa kemungkinan pria ini tak dapat hadir seperti janjinya pada sisi sebelumnya.
"Sembuhlah, lalu kita lanjutkan pembicaraan kita," ucap Axel pelan ketika pria paruh baya tersebut kembali dalam penanganan dokter.
Ya, semoga semua baik baik saja.
---TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cold Heart
General FictionAxel Mandhela, sosok laki-laki berumur 33 tahun. Seorang arsitek ternama. Setelah dikhianati oleh cinta pertamanya, dia tidak lagi ingin dekat dan mengenal wanita. Wanita manapun, angkat tangan merayunya kecuali satu, gadis kecil keponakan teman...