"Om pernah ke Bromo?"
"Ini yakin om bisa nyetir sendiri?"
"Ini kita menginap dihotel mana?"
"Om sinyalnya jelek."
Axel sengaja tidak menanggapi ocehan Sisi yang sudah kembali cerewet.
Sepanjang perjalanan Axel memfokuskan diri mengemudi, jalanan yang berkelok-kelok dan kurangnya pencahayaan dimalam hari membuatnya ekstra hati-hati.
Dulu, sewaktu muda dia pernah bolak balik kemari. Dibandingkan dulu yang hampir semuanya hutan dikanan kiri jalan, kini lebih banyak rumah dan toko. Bahkan juga ada lebih banyak hotel yang bisa dipilih untuk menginap.
"Ini sudah banyak berubah."
Sisi menoleh kearah Axel. Meminta penjelasan lebih atas kalimat yang baru saja diucapkan pria itu.
"Dulu, disepanjang jalan tidak ada yang mendirikan toko dan warung seperti ini. Saat saya dan beberapa teman sampai dipuncak, kami harus menahan lapar. Jika tidak dekat dengan penduduk sini, saya dulu bisa mati kelaparan," Axel menggaruk rambutnya yang tidak gatal lalu tertawa lagi.
"Tidak ada hotel mewah seperti sekarang. Dulu benar-benar masih kedaerahan, terisolasi. Listrik saja belum ada. Kami menumpang dirumah warga, kami makan dan seperti saudara, saya dan teman-teman saya diajak ke ladang untuk bertani. Waktu pamit pulang, saya seperti meninggal kan kekuarga baru, saya menangis. Kami diberi kentang karena kata mereka, takut saya kelaparan dijalan pulang."
"Om tidak pernah mengunjungi mereka, orang yang menampung om disini?"
"Saya sering mengunjungi mereka, sebelum pekerjaan pertama saya dulu. Mungkin waktu masih kuliah bisa sampai setahun 3 kali saya kembali kesini. Saya menyebut rumah mereka sebagai kampung halaman."
"Saya pernah berfikir untuk menghabiskan masa tua saya disini. Menjadi petani, menghangatkan diri lewat api unggun bersama keluarga dan tetangga."
Sisi mengangguk paham.
"Sisi juga ngga keberatan kalau nanti tua disini. Rasanya damai."
Axel menoleh sejenak kearah Sisi sebelum tersenyum simpul dan mengacak rambut Sisi gemas.
Axel memarkirkan mobilnya yang membuat Sisi menoleh kearah banner disekitar tempat parkir ini.
"Kita menginap dihotel?" Tanya Sisi heran.
"Ayo," ujar Axel seraya membukakan pintu tempat Sisi duduk.
"Pemandangan disini seharusnya indah jika besok tidak ada kabut yang turun. Kita istirahat disini dulu, saya sudah lelah mengemudi."
---
Axel menggeliat, mengerutkan kening bingung saat menyadari tangannya terasa kebas.
Menatap Sisi yang tidur berbantalkan tangannya, tampak pulas. Axel dengan hati hati memindahkan kepala Sisi kebantal, membetulkan selimut Sisi lalu beranjak keluar kearah balkon.
Sejujurnya, dia tidak tau akan membawa Sisi jalan jalan kemana hari ini.
Jadi biarlah gadis itu menikmati tidurnya sejenak.
Matahari semakin naik dan Axel masih betah terduduk diam dibalkon sesekali mengarahkan pandangannya ke kasur. Merasa Sisi akan terbangun, Axel mendekat."Kau selalu terbangun jam segini?"
Sisi kebingungan sesaat sebelum sadar dimana dirinya.
"Om kok ngga tidur disebelah Sisi!" Sentak Sisi.
"Kan udah Sisi bilang, sekamar itu ngga papa, kita udah pernah kan waktu disurabaya," lalu Sisi melayangkan pandangan kearah pintu balkon yang terbuka.
"Om tidur di balkon? Serius?"
Axel tetap diam sebelum melempar bantal didekatnya pada Sisi.
"Jika kau gadis kecil tidak mandi dalam 10menit, maka ucapkan selamat tinggal pada pemandangan gunung bromo yang ingin kamu lihat itu," ucap Axel dengan nada datar namun berhasil membuat Sisi kalang kabut.
"Om tidak mau mandi?"
"Aku tidak pernah mandi jika sedang berada disini. Apa kamu masih menyukaiku?"
Sisi menggembungkan pipinya dengan ekspresi berfikir.
Sebelum tersenyum lebar.
"Sisi juga biasanya jarang mandi kalau mau sekolah."
Axel : "----"
"Tidak peduli apa, Sisi tetap menyukai om, sangat."
Pengakuan kecil semacam ini mampu membuat hati Axel berdetak tak karuan.
----
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
The Cold Heart
Fiksyen UmumAxel Mandhela, sosok laki-laki berumur 33 tahun. Seorang arsitek ternama. Setelah dikhianati oleh cinta pertamanya, dia tidak lagi ingin dekat dan mengenal wanita. Wanita manapun, angkat tangan merayunya kecuali satu, gadis kecil keponakan teman...