Axel menggerakan kakinya dengan gelisah. Seminggu sejak liburan berlalu akhirnya Axel berani bertatap muka dengan pria paruh baya yang terlihat kehilangan berat badannyaBerdeham pelan sebelum memulai pembicaraan yang akan menentukan masa depannya.
"Saya akan menerima permintaan om , dengan beberapa syarat. Om bersedia mendengarnya?"
"Kau ingin hartaku?"
Axel menggeleng.
Gilak, harta orang tuanya, hartanya udah cukup untuk hidup didunia yang kejam ini, kenapa harus ambil harta orang lain.Axel berdeham lagi, tenggorokan nya terasa kering.
"Saya ingin Sisi meneruskan pendidikannya terlebih dulu," syarat pertama Axel.
"Tentu saja Nak, dia sudah ditahun terakhirnya."
"Bukan om, bukan pendidikan menengahnya, tapi pendidikan tingginya. Dia harus kuliah terlebih dahulu."
Papa Sisi menggeleng pelan.
"Itu tidak bisa, aku ingin menikahkan Sisi dengan tangan ku sendiri. Itu terlalu lama Nak."
Axel menatap gamang.
"Sisi perlu tau bahwa didunia perkuliahan nanti dia mungkin menemukan laki laki yang dianggapnya lebih dari saya. Saya tidak mau membatasi pergerakannya, gadis seumuran dia tidak seharusnya terpenjara dengan pernikahan."
"Sisi tidak akan keberatan asalkan bersamamu. Dokter bilang waktu saya tidak banyak, Axel tolong mengerti keadaan saya."
"Saya akan menikahinya, selepas dia menanggalkan seragam sekolahnya. Dan om , dokter bukan Tuhan jadi percayalah akan ada mukjizat jika Tuhan berkehendak."
"Kau benar-benar mau menjaganya?"
Axel mengangguk tegas.
"Dan bisakah om mengatakan, apa rahasia yang perlu kuketahui tentang Sisi?"
----
"Ela, kenapa Della terlihat pucat ya," ucap Axel seraya memeriksa kening keponakan kecilnya.
"Yaampun La, dia memang demam. Kamu ngga sadar atau bagaimana?"
Angela beringsut mendekati sang anak, mengulurkan tangannya dan berlari menuju dapur untuk mengambil beberapa alat kesehatan.
Axel mengecup lembut kening keponakannya dengan khawatir kemudian mengambil termometer dari tangan sang adik dan menyelipkannya diketiak della.
39.
"Sial La, pakai jaketmu, hubungi suamimu. Kita bawa ke rumah sakit."
Angela dengan terburu-buru melakukan semua perintah sang kakak, astaga ini bukan pertama kalinya dia punya anak, kenapa ceroboh sekali.
---
Setelah memastikan bahwa Della baik baik saja barulah Axel menghela nafas lega.
Mengelus lembut pipi keponakannya sebelum beranjak pergi.
Tanpa pamit.
---
Ian, Ana, Shisi.
Karena memang belum waktunya pulang sekolah, mau tak mau Axel turun tangan sendiri mengurus izin mereka bertiga.
"Kenapa kita dijemput?" Suara Sisi mewakili suara dikembar yang hanya diam saja sedari tadi.
"Ingin jalan-jalan, lagipula guru kalian juga memberi izin," suara Axel menerbitkan senyum dibibir para perempuan.
"Kita ke mall aja ya om."
Axel mengangguk menatap Ian dari kaca tengah mobilnya.
"Kau tidak ada janji kencan kan?"
Merasa ditanyai, bocah laki laki itu menggeleng.
Mau bagaimana lagi, Ian memang keponakannya yang paling irit bicara beda dengan kembarannya, Ana.---
"Udah ya belanjanya, om udah capek, faktor umur nih kayaknya," Axel mendudukan dirinya dibangku food court lalu memberi beberapa uang kepada Sisi dan menyuruhnya membeli makanan bersama keponakannya.
Axel menatap Ian lalu meraih ponsel yang dipakai abg tersebut.
"Om pikir kamu liat bluefilm," ujar Axel santai yang membuat wajah Ian yang datar tetap saja tidak berubah. Kenapa adiknya dikarunia i anak yang minim ekspresi sepeni ini.
Mirip siapa sebenarnya Ian ini?
"Om yang sering," jawab Ian dengan muka datarnya.
Ini kenapa sekarang Axel seperti ngeliat dirinya sendiri?
"Kamu udah mimpi basah?"
Sebelum Ian sempat protes suara Sisi menjawab
"Siapa yang mimpi basah?"
Mampus.
Mampus.
----
TBC
Aku mau kalian klik bintang, komen apalah gitu, aku lagi kesepian. Wkwk.
Yuk balas balasan komen. Tebak gimana cerita ini berakhir 😜

KAMU SEDANG MEMBACA
The Cold Heart
General FictionAxel Mandhela, sosok laki-laki berumur 33 tahun. Seorang arsitek ternama. Setelah dikhianati oleh cinta pertamanya, dia tidak lagi ingin dekat dan mengenal wanita. Wanita manapun, angkat tangan merayunya kecuali satu, gadis kecil keponakan teman...