Axel menatap kalut kearah pintu ruang rawat didepannya.
Mengetuk kakinya pelan tanpa ritme yang jelas, hingga pintu ruangan terbuka dan pria paruh baya berjas putih yang dinantikan berdiri dihadapannya.
"Anda putra beliau?"Axel mengangguk dan memberikan sedikit senyum.
Dokter tersebut tersenyum menguatkan, menepuk pundak Axel pelan sebelum menggelengkan kepalanya.
"Kami sudah berusaha dan takdir berkata lain. Papamu sudah bahagia, Tuhan menjemputnya dengan baik."
Axel mengerjabkan matanya terkejut, bukan ini yang seharusnya didengar telinganya. Menatap kearah perempuan paruh baya yang sedari tadi diam disisinya kini menangis tanpa suara."Ini tidak mungkin, dokter tolong, dokter tolong selamatkan beliau," suara Axel mendadak serak, ludahnya terasa tak dapat ditelannya. Dan sekali lagi Tuhan mengajaknya bercanda.
Tepat saat Axel akan masuk kedalam ruangan nada dering kesukaannya berbunyi dan tepat saat dia menekan tanda menerima panggilan sebuah suara terdengar dan tanpa sadar air mata yang ditahannya sejak tadi ikut menetes dipipi.
"Om, tangan Sisi berdarah."
----
Tidak ada yang baik-baik saja dirumah duka, Sisi yang sedari menatap kosong kearah jenazah papa yang sudah dikafani. Tidak ada tangisan, jeritan kehilangan seperti anak perempuan pada umumnya. Angela yang menemani gadis itu, mengusap punggung gadis itu dengan perhatian.
"Sisi mau lihat papa untuk terakhir kali?" tanya Angela pelan dan dijawab gelengan.
"Sisi mau tidur, Sisi mengantuk tante," perlahan Sisi melepaskan rangkulan Angela seraya melirik pelan kearah jenazah papanya tanpa sorot apapun.
Berdiri dan berjalan pelan kearah kamarnya.
---
Setidaknya hanya dikamarnya ini suara suara ramai diluar kamarnya tak lagi terdengar. Sisi membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit kamarnya dengan hampa.
"Apa kamu tidak mau mengantar Papamu pergi?"
Sisi menoleh menatap siapa yang berani masuk kekamarnya tanpa ijin.
"Kamu harus mengantarnya."
Sisi menatap Axel dengan mata berair dan memeluk Axel dengan erat, menumpahkan tangis yang sedari tadi ia tahan.
---
"Hari ini tepat sebulan kepergian papa, maaf karena mengambil waktumu dengan Axel cukup banyak hari ini," Sisi menatap mama tidak mengerti.
"Papamu menitipkan dua pesan didalam amplop ini untukmu dan Axel, tapi sebelum menyerahkan amplop ini pada kalian saya akan menyebutkan satu rahasia yang mungkin akan melukai Sisi sekali lagi," Sisi menatap bingung kepada sang mama kemudian menatap Axel yang berada disampingnya yang terlihat sama bingung.
"Axel, ini juga perihal rahasia yang dijanjikan almarhum kepadamu, tentang Sisi yang selalu kami simpan rapat."
"Saya bukan ibu kandung Sisi."
"Bagus, karena papa sudah meninggal mama juga tidak menginginkanku lagi," sentak Sisi dengan nada marah.
"Berhenti bicara omong kosong."
Sisi melihat sang mama mengambil sebuah map, selembar kertas didalamnya diserahkan kepada Sisi dengan tersenyum.
"Saat kamu masih bayi, saya adalah perawat yang membantu mama mu melahirkan."
"Lalu saat ibu kandungku meninggal kalian jatuh cinta, begitu? hentikan kisah jatuh cinta tragis kalian dan omong kosong ini sekarang."
"Bacalah surat itu dan kamu akan mengerti."
Axel yang sedari tadi hanya mendengarkan akhirnya membuka surat yang berada ditangan Sisi.
Ini adalah surat perjanjian.
"Itu adalah surat perjanjian yang kami buat."
Axel menatap mama Sisi dengan tatapan tak percaya. Keluarga macam apa sebenarnya ini.
--TBC--
bentar, yang sedih sedih dulu karena memang bagian dari cerita. wkwkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cold Heart
Genel KurguAxel Mandhela, sosok laki-laki berumur 33 tahun. Seorang arsitek ternama. Setelah dikhianati oleh cinta pertamanya, dia tidak lagi ingin dekat dan mengenal wanita. Wanita manapun, angkat tangan merayunya kecuali satu, gadis kecil keponakan teman...