Awkward.
Perjalanan menuju gunung bromo terasa awkward. Axel tidak tau ada apa dengan dirinya tapi Ia merasa malu memulai pembicaraan. Berbeda dengan Sisi yang sedari tadi sibuk memotret pemandangan dan terkadang memotret Axel dalam diam.
"Om haus, tolong ambilkan minum di kursi belakang."
Terkutuk.
Kenapa dia memanggil dirinya sendiri om.
Sialan, dirinya benar benar merasa tua sekarang.
Setelah meneguk minumannya, Axel berdeham pelan. Jarinya mengetuk setir dan bernyanyi pelan mencoba mencari bahan pembicaraan.
Lalu dia teringat sesuatu...
"Sisi, ada yang ingin saya bicarakan," ucap Axel yang kemudian berdeham lagi.
"Kau, punya cita-cita?"
Pertanyaan ini salah satu hal yang harus Axel tahu sebelum mengambil keputusan.Axel melirik Sisi yang mengangguk ,
"Aku ingin jadi istri om," ucap sisi lalu tersenyum lebar.
"Om bilang ingin tinggal disini, Sisi ngga keberatan, Sisi cuma mau om."
Axel melihat binar dimata gadis itu namun dia tidak menanggapi karena mereka sudah sampai tujuan. Setelah membayar Axel menyapa beberapa orang yang dulu pernah dia temui. Seakan keluarga dan Axel benar-benar diperbolehkan membawa mobilnya langsung turun kearah lautan pasir yang seharusnya jika bukan warga sana harus diparkirkan dan mengganti jepp.
"Orang sini ramah-ramah ya om, padahal sudah lama ngga ketemu tapi masih ingat wajah om."
Axel mengangguk, membenarkan perkataan Sisi.
"Sisi mau naik kuda!"
Tiba tiba gadis ini berteriak saat melihat beberapa kuda terpakir berjejer disebelah mereka.
Dan sebelum gadis itu membuka pintu mobil, tangan Axel menahannya.
"Ada yang ingin saya bicarakan."
----
Axel menatap Sisi yang menaiki kuda yang dipegangi oleh si pemilik. Axel tertawa kecil saat Sisi bertanya banyak hal pada orang tersebut.
Seraya berjalan kaki mengikuti kuda yang dinaiki Sisi, pikiran Axel melayang pada pembicaraannya dimobil tadi.
"Kamu benar-benar tidak punya cita-cita?"
Axel menyadari raut kebingungan dari gadis itu tapi Axel berpura pura tak melihatnya.
"Aku susah bilang kalau cita-cita cuma meni-" ucapan Sisi terpotong karena melihat Axel menggelengkan kepala.
"Cita-cita yang sesungguhnya, tentang apa yang kau impikan saat kau dewasa. Pekerjaan atau hidup yang kamu inginkan dimasa depan."
Lagi dan lagi Axel menyadari bahwa ternyata gadis didepannya ini benar-benar tak memikirkan masa depannya.
"Om marah? Kenapa? Karena Sisi ngga punya masa depan?"
Axel mengangguk.
"Rasanya aneh melihat gadis muda yang tidak memiliki cita-cita," ucap Axel sebelum mengalihkan pandangan nya kearah lain.
"Dulu Sisi punya, Sisi ingin jadi artis."
Axel kembali menatap Sisi, sedikit terkejut melihat raut ketakutan diwajah gadis itu.
"Kenapa artis?" Tanya Axel lalu mengulurkan tangannya mengacak rambut Sisi untuk sekedar memberi tahu bahwa sebenarnya dia tak bersungguh-sungguh marah.
"Sekarang udah ngga lagi, udah ngga artis lagi."
Axel mengerutkan keningnya bingung.
"Kenapa? Karena kamu mengenal saya?"
Sisi menggeleng.
"Sisi pernah jadi selebram. Dan itu ngga enak. Semua orang yang deketin Sisi selalu punya maksud tertentu. Mereka cuma pingin ikutan terkenal, waktu itu Sisi denger mereka ngomongin Sisi dibelakang Sisi dan Sisi sadar kalau memang Sisi ngga suka dibidang ini, dibicarakan orang, tingkah laku Sisi seperti diawasi. Jadi Sisi tutup akunnya, Sisi buat akun lain yang ngga semua orang tau kalau itu akun Sisi. Sisi private."
Axel mengangguk paham sebelum menyuruh Sisi keluar dari mobil.
---
Setelah membawa gadis itu berkeliling dari naik puncak gunung bromo, bukit Teletubbies, seruni point akhirnya Axel angkat tangan.
Sedikit memohon pada Sisi untuk kembali ke hotel. Langit pun sudah menghitam saat Axel memarkirkan mobilnya di parkiran hotel.
Sepertinya dia butuh sopir pengganti untuk mengantarnya ke bandara pukul 9 malam nanti karena dia memesan tiket pesawat tengah malam untuk kembali ke ibukota.
Selesai mandi, Axel menatap Sisi yang kembali tidur dengan lelap. Berjalan mendekat lalu merapikan selimut Sisi, seperti tergoda Axelpun mengelus pipi gadis itu.
"Ngga mau pulang."
Rancauan Sisi disambut tawa kecil oleh Axel. Sepertinya gadis ini ngelindur.
Menatap jam tangannya sejenak dan memutuskan untuk membiarkan Sisi beristirahat lebih lama sebelum membangunkannya untuk membersihkan diri. Axel sedikit beruntung karena jaman semakin modern, hotel yang dia tinggali berfasilitas dengan air hangat.
Satu setengah jam berlalu dan Sisi belum bangun dari tidurnya. Sebenarnya Axel tidak tega melihat betapa memang melelahkannya liburan kali ini. Menaiki ratusan tangga memang sangat melelahkan apalagi diumurnya yang sudah kepala tiga.
Axel tidak akan terkejut jika suatu saat dia bertanya tentang hobby dan gadis ini menjawab bahwa tidur adalah hobbynya.
Axel tidak akan terkejut.
Tapi waktu terus berlalu, akhirnya,
Axel duduk ditepi ranjang, menatap Sisi dengan lembut sebelum mengecup dahi gadis itu pelan.
"Bangun Si, sudah waktunya kita pulang."
---
TBC
Dikit-dikit ya. Jadi jangan ribut, kan penting update 😚
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cold Heart
General FictionAxel Mandhela, sosok laki-laki berumur 33 tahun. Seorang arsitek ternama. Setelah dikhianati oleh cinta pertamanya, dia tidak lagi ingin dekat dan mengenal wanita. Wanita manapun, angkat tangan merayunya kecuali satu, gadis kecil keponakan teman...