REVISI - ENAM

22K 741 14
                                    

Hari demi hari berlalu cepat, tak terasa sudah hampir tiga pekan sejak pernikahanku dengan Leo dilangsungkan. Hubunganku dan Leo mulai membaik walaupun tak jarang kami bertengkar juga.

Pagi ini, kami di bandara mengantar mama dan papa yang harus pergi ke Surabaya  demi mewakili perusahaan tempat papa bekerja yang sedang terkena masalah. Sebenarnya hanya papa yang ditugaskan, tapi berhubung mama dan papa tidak mau berpisah, akhirnya mama turut serta. Yah… begitulah mama, katanya mau pacaran dulu sama papa, mumpung udah ada Leo yang menjagaku. Dasar orang tua puber kedua.

“Awas, ya, kalian buat macam-macam selama Mama Papa enggak ada di rumah!” ucap mama dengan mata yang menajam menatapku. Aku memutar bola mata malas. Entah sudah ke berapa kali mama mengatakan hal yang sama.

“Siapa juga yang mau buat macam-macam, ih!” kataku kesal.

“Mama, kan, cuma kasih tahu,”

“Iya, tapi kasih tahunya berkali-kali.”

“Ap—”

“Udahlah kalian ini. Malu tahu berantem di sini,” ucap papa menengahi. Mama mendengkus kesal.

“Rey, kamu jangan apa-apain anak gadis Papa, ya, jangan sekarang, atau Papa pecat kamu jadi menantu Papa,” ancam papa dengan nada bercanda yang bukannya membuat Leo takut malah membuatnya tertawa.

“Siap, Komandan.” Leo berdiri tegap kemudian mengangkat tangannya melakukan penghormatan kepada papa layaknya perwira TNI. Papa kemudian merangkul Leo, keduanya tertawa bersama. Entah kenapa melihat papa dan Leo yang akrab seperti itu membuat sudut bibirku tertarik—tersenyum.

Tak lama terdengar suara pemberitahuan bahwa pesawat tujuan ke Surabaya akan segera berangkat.

“Ya, sudah, Papa dan Mama pergi dulu, ya. Jaga diri kalian baik-baik,” pinta papa.

“Ingat kalau malam kunci rumah, kalau sekolah jangan telat bangun!” Mama melanjutkan ucapan papa. “Ingat juga jangan buat yang macam-macam,” ancam mama lagi.
Aku mendengkus kesal. Seperti terkesan aku murahan sekali. Lagi pula, memang aku mau menyodorkan badanku begitu saja kalau mama dan papa tidak ada di rumah? Gila.

“Iya. Mama dan Papa hati-hati juga. Kalau udah sampai Surabaya, telepon Becca, ya. Jangan lama-lama juga,” ucapku.

Mama lalu memelukku sebentar. “Jangan ceroboh! Mama enggak mau lihat pas Mama pulang barang Mama ada yang ilang.”

Aku mengangguk pelan pada mama. “Iya, Ma.”

“Ya udah, Mama Papa pergi dulu. Jaga Becca, ya, Rey. Kalau dia telat bangun pas sekolah, siram pakai air aja,” ucap mama.

“Iya, Ma, siap!” balas Leo pada mama. Mama tersenyum, lalu menarik koper mereka dan menjauhi kami sambil sesekali melambaikan tangannya.
Aku mendadak menjadi mellow—sedih ditinggal mama dan papa. Padahal, ini bukan kali pertama mereka meninggalkanku.

“Jangan nangis!” Aku menolehkan wajahku kepada Leo yang memandangku khawatir.

“Enggak … gue enggak nangis, kok.” Aku mengucek kedua mataku. “Cuma kelilipan.”

Tanpa aku duga, tiba-tiba tangan Leo membuka kedua tanganku sehingga mataku yang mulai berkaca-kaca ketahuan olehnya. “Dasar cengeng!” ejeknya.

Aku kesal. Kesal karena ditinggalkan berdua dengan makhluk es menyebalkan ini, kesal mendengar ejekan dari pria di depanku ini.

“Huaaa!” teriakku diiringi dengan isak tangis. Seharusnya aku marah dengan Leo, tapi bukannya marah aku malah menangis di depannya.

“Bec … Bec… kok, lo malah nangis?” Leo panik.

Young Marriage [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang