REVISI - ENAM BELAS

36.3K 656 48
                                    

“Bec, bangun. Udah jam enam, nih!” panggil Leo sambil mengguncang badanku pelan. Aku melenguh sebal.

“Bentar lagi, lima menit lagi …,” kataku mencoba menego waktu dengan Leo. Leo mencubit pipiku dengan gemas.

“Ini udah jam enam, kalau lo enggak mandi sekarang, bisa-bisa kita telat sekolah.”

Aku langsung membuka mataku lebar. Terkejut dengan apa yang Leo katakan, lalu tersadar bahwa hari ini adalah hari pertama masuk sekolah dan hari pertama aku menjadi anak kelas sebelas.

Aku menghela napas dengan berat, masih tidak rela masa liburanku yang berharga telah berakhir. Aku lalu mengacak rambutku malas. Melihatku seperti itu, Leo langsung menarik tanganku hingga membuatku duduk. Leo bahkan sudah mengenakan seragam, rapi dengan segala atributnya, sedangkan aku masih belum sepenuhnya sadar. Kalau sudah seperti ini, aku yang terlalu malas atau Leo yang terlalu rajin, ya?

“Aih, malas banget! Ngapain pakai masuk sekolah segala, sih!” gerutuku.

“Ya, memang udah ketentuannya begitu, Sayang,” ucap Leo. Aku menatapnya jijik.

“Udah, deh, enggak usah pakai sayang-sayangan! Geli!” ucapku.

“Geli, tapi suka, kan?” goda Leo.

“Suka, sih,” gumamku dengan suara sekecil mungkin. Leo terkekeh pelan. Apa dia mendengar gumamanku?

“Nih, minum air putih dulu!” ucap Leo sambil memberikan gelas kaca berisi kan air putih. Aku meneguknya hingga air itu habis tak tersisa.

“Bagus,” ucap Leo sambil mengelus rambutku.

Katakan aku gila karena setiap pagi, ataupun malam, aku selalu menghabiskan satu gelas air putih hanya demi mendapat elusan dari Leo.

“Mandi, Becca,” kata Leo lalu mengacak rambutku yang sebenarnya sudah berantakan. Aku beranjak dari ranjangku dengan malas, lalu mengambil seragam sekolah dan masuk ke kamar mandi.

Selesai mandi dan berpakaian, aku langsung keluar dan menyisir rambutku dengan asal. Leo, yang tadinya sedang memasukkan buku tulis ke dalam tasku, langsung menghampiriku setelah melihatku menyisir asal-asalan sambil berdiri. Ia merebut sisir yang kupegang.

“Sini,” ucap Leo lalu menarikku ke meja rias dan mendudukkanku di kursi meja rias.

“Ngapain, sih?” tanyaku.

“Mau sisirin lo.”

“Eh … enggak usah. Gue bisa sendiri, kok,” ucapku sambil berusaha mengambil sisir itu.

“Memangnya kenapa? Gue ikhlas, kok, sisirin lo. Lagian, biasanya kalau pacaran, kan, memang cowok yang selalu sisirin sama ikatin rambut ceweknya,” ucap Leo, aku mengernyit tidak setuju.

“Tapi gue enggak mau. Gue enggak suka kayak gitu. Kalau gitu, gue punya dua tangan buat apaan? Dan juga, lo bilang, biasanya kalau pacaran cowok selalu sisirin sama ikatin rambut ceweknya? Please, deh, itu cowoknya betulan pacaran atau cuma buat dijadiin stylish rambut?” ucapku sambil merebut sisir yang dipegang Leo. Leo mendecak pelan.

“Susah, ya, mau romantisin lo,” ucap Leo.

“Itu tahu!” balasku sambil menyisir rambutku.

“Semua cara romantis buat lo yang gue dapat dari Dion gagal semua,” keluh Leo.

“Siapa suruh ikutin Dion? Makanya kalau mau romantis pakai akal sendiri, jangan ikutin apa kata Dion,” ucapku.

“Kalau kayak gini … romantis, enggak?” tanya Leo sambil memelukku dari belakang. Aku sontak menyetop aktivitasku. Sial. Jantungku benar-benar berdetak sangat cepat. “Romantis, kan?”

Young Marriage [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang