REVISI - SEPULUH (A)

20.1K 638 12
                                    

Sekarang aku dan Leo tengah berada di bandara. Aku berjalan cepat mengikuti langkah lebar kaki Leo yang panjang sambil sesekali mengembuskan napas lelah.

Entah sudah beberapa kali aku menabrak orang di bandara. Aku tidak tahu, perasaanku sepertinya hari ini bandara menjadi sangat-sangat ramai, bahkan aku bisa mendengar orang-orang berteriak dengan lantang meneriakkan sesuatu dengan bahasa Korea sambil membawa spanduk yang bertuliskan bahasa Korea beserta sebuah foto, entah apa yang maksudnya. Saat aku kembali menatap ke depan, aku baru menyadari bahwa aku sudah kehilangan jejak Leo.

Aku menoleh ke arah kiri dan kanan, tapi Leo sama sekali tidak terlihat. Aku merutuki diriku sendiri yang kehilangan jejak Leo. Aku begitu panik hingga rasanya tangisku ingin keluar, apalagi aku bukan tipe orang yang menyukai keramaian, malah aku sangat membencinya. Orang-orang yang tengah berteriak membuatku tambah panik walau aku tahu mereka tidak ada hubungannya sama sekali dengan Leo.

“Leo!” teriakku sambil melambaikan tangan, berharap Leo melihat lambaian tanganku dan mendengar teriakanku di antara teriakan orang-orang. Namun, tepat setelah aku berteriak, aku malah terbawa arus sekumpulan orang-orang tadi yang membawa spanduk, beberapa di antaranya berteriak histeris.

Pengap, panik, takut, semuanya lebur jadi satu. Aku kembali meneriakkan nama Leo, tapi lagi-lagi kalah besar dengan teriakan orang-orang itu. Jatuh sudah air mataku. Ah, benar kata mama, aku anak yang sangat penakut. Baru seperti ini saja aku takut bukan main, malah sampai menangis.

Di kala aku sudah terisak, sebuah tangan menarikku—menyelamatkanku dari kerumunan orang-orang yang tengah berdesakan itu. Hela napas lega kuembuskan setelah keluar dari kerumunan dan kuhirup udara dalam-dalam seperti orang yang tidak pernah napas bertahun-tahun. Aku lalu menghapus air mata yang masih sesekali turun.

“Lo nangis?” tanya Leo seperti tak berdosa setelah menyelamatkanku. “Kali ini beneran nangis, kan, bukan sekadar buat nge-prank atau ngejahilin gue?” tanya Loe lagi seakan tak percaya.

Aku menatap Leo tajam. Seketika aku merasa sangat kesal dengannya. Aku tidak menjawab pertanyaannya dan menoleh ke arah lain seolah mengabaikannya.

“Jadi beneran nangis, toh.” Kali ini Leo baru percaya. Aku benci Leo. Dasar Leo nyebelin.

“Ya, elah, udah jangan nangis lagi. Makanya kalo jalan jangan lama kayak kura-kura.” Aku masih tidak memedulikan Leo. 

“Mau tahu sebuah kejujuran, Bec.” Kutolehkan wajahku menghadap Leo. “Gue sempat panik tadi saat tahu enggak ada lo di belakang gue,” ucap Leo sambil mengelap sisa air mataku. Aku menatapnya terkejut. Terkejut tidak menyangka bahwa Leo akan mengkhawatirkanku, terkejut karena tindakan Leo yang lagi-lagi membuat jantungku berdegup kencang.

Setelah air mataku tidak ada lagi yang tersisa, Leo lalu menggenggam tanganku. “Biar lo enggak hilang lagi,” katanya sambil tersenyum lebar sembari mengusap kepalaku lembut. Pipiku sudah mulai memanas, jantungku sudah berdegup sangat cepat. Sungguh, sepertinya aku benar-benar tidak boleh berada di dekat Leo terus-menerus.

“Sepupu gue udah sampai, tuh!” ucap Leo sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang sedang berteriak.

Aku melirik orang-orang itu dengan ragu. “Kita mau ke tempat orang-orang yang teriak-teriakan itu lagi?”

“Mau gimana, lagi? Sepupu gue lewat jalur itu, tapi kayaknya ada artis yang lewat situ makanya ramai gini. Lihat aja, tuh, spanduk-spanduknya,” ucap Leo masih tetap menggandengku ke arah sana. Aku menggengam sedikit meremas tangan Leo, perasaan takutku kembali muncul.

“Lo, takut?” Leo sadar, aku mengangguk kencang.

“Ya, udah, kita nunggu di sana, aja,” tunjuk Leo pada sebuah pilar yang tidak jauh dari pintu keluar.

Young Marriage [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang