REVISI - DELAPAN

18.9K 745 13
                                    

Aku menatap Leo tajam sambil sesekali melirik kertas di meja restoran tempatnya duduk.

“Oi, jangan ngintip!” ucap Leo. Aku langsung melambai-lambaikan tanganku.

“Enggak, kok. Enggak ngintip,” sangkalku.

“Enggak ngintip, cuma ngelirik,” balasnya.

“Udah. Lo duluan,” lanjut Leo.

“Okay. Gue nomor ... dua,” ucapku sambil menyilang angka dua di kertas bingo milikku.

Ya, setelah puas karaoke, kami pergi ke restoran. Bayangkan, ke restoran hanya memesan dua lemon tea lalu meminta kertas juga meminjam pulpen untuk bermain bingo selama hampir dua jam.

“Nomor 24,” ucap Leo masih serius dengan kertas bingonya.

Permainan kami pun berlanjut sampai setengah jam kemudian, sebelum pada akhirnya kami tahu diri karena banyak pelanggan yang mulai mengantre.  

“Di rumah lanjut, kagak?” tanya Leo sambil menaik-turunkan alisnya.
Sial. Kok, ganteng?

“Enggak, ah. Ujung-ujungnya gue juga kalah,” jawabku sambil memalingkan wajahku yang tak bisa menahan untuk tidak tersenyum.

“Ah, payah,” ejeknya.

“Bodo amat!” ucapku dan Leo hanya menyorakiku.

“Eh, mampir ke toko kaset dulu, ya. Gue mau beli film baru, deh,” ucapku. Leo mengangguk pelan dan menyalakan mesin mobilnya.

“Mau beli film apa, memang?” tanya Leo.

“Film Thailand. Gue belum nonton Hormones 2,” balasku.

“Oh, bukannya, tuh, film ada begitu-begituannya, ya?” tanya Leo. Aku mengedikkan bahu.

“Tahu, deh. Yang pertama gue nonton di TV, jadi di-cut. Eh, tapi … lo tahu dari mana ada adegan begituannya?” tanyaku. “Jangan-jangan lo udah nonton, ya, dasar mesum!”

“Belum … gue baca review orang-orang di internet! Mau nonton bareng sekalian, enggak, Bec? Biar sekalian praktik,” goda Leo sambil tersenyum mesum.

“Mau dipecat jadi mantu sama mama papa gue, lo?”

“Dasar anak mama papa, dikit-dikit ngadu!”

“Biarin … weekkk!” balasku sambil meleletkan lidahku.

Suckseed bagus, tuh!” Leo kembali merekomendasikan sebuah film kepadaku.

“Udah nonton,” balasku.

“Sawadikhap?” tanya Leo lagi.

“Gue, sih … ogah, ya, nonton film horor malam-malam.”

“Lah, kan, ada gue?”

“Kalau ada lo memang kenapa? Lo pengin gue kayak di FTV-FTV, gitu? Teriak terus meluk lo … ogah!” tolakku.

“Dasar lembek!” ucap Leo.

“Bodo.”

***

“Jauh-jauh lo dari gue!” ucapku.

“Kenapa memang?” tanya Leo. Aku menunjukan karyawati di toko kaset yang kudatangi.

“Lo enggak lihat, noh, mbak-mbaknya lihatin lo mulu? Gue risi tahu, enggak?” ucapku. Leo malah tertawa mendengar ucapanku.

“Susah, sih, jadi orang ganteng, dilihatin mulu!” ucap Leo dengan pede level seratus.

“Aduh, ada yang punya kantung plastik enggak, ya? Gue pengin muntah, nih, kayaknya,” ucapku sambil berpura-pura ingin muntah.

Young Marriage [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang