Cuaca pagi ini begitu cerah. Penduduk desa Wonowono sudah memulai aktifitas sehari-harinya seperti biasa, membajak sawah, menanam padi ataupun ada yang memetik teh karena desa Wonowono ini berada di dekat pegunungan.
Hawa sejuk berdominan dingin masih terasa menusuk kulit padahal ini sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi. Tapi bagi warga desa Wonowono itu sudah biasa, aktifitas mereka tidak terganggu sama sekali.
Di desa ini cara-cara tradisional begitu kentara. Mereka belum tersentuh dengan teknologi modern yang canggih. Rumah-rumah yang ada belum dialiri arus listrik. Mereka menggunakan sepeda ataupun gerobak sapi untuk alat transportasi menuju kota untuk menjual hasil pertanian mereka.
Hanya ada beberapa orang saja yang tersentuh teknologi modern, itupun karena mereka merupakan juragan kaya yang memiliki peternakan dan lahan sawah ratusan hektar di desa ini.
Jalanan yang becek karena semalam habis terkena guyuran hujan deras membuat Leginem dan kedua adiknya harus hati-hati. Jalanan ini begitu licin, jika mereka lengah sedikit saja maka mereka akan jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
Hari ini mereka akan memetik teh di pegunungan yang jaraknya 15 KM dari rumah mereka. Sementara kedua orangtuanya berada di sawah untuk menyebar benih-benih padi. Maklum saja, keterbatasan ekonomi membuat mereka harus berputar otak untuk bisa mendapatkan uang yang banyak di waktu yang sama agar esok hari mereka masih bisa makan nasi.
Kebetulan sang pemilik lahan teh itu membutuhkan beberapa orang lagi untuk memanen karena hasil panen teh tahun ini begitu melimpah.
"Hati-hati Nar!". Secara reflek Leginem menarik adik bungsunya yang hampir terpleset dan jatuh ke jurang.
"Iya mbak!". Ucap Winarno setelah berhasil mengatur nafasnya. Jantung laki-laki 12 tahun itu berdetak begitu kencang karena hampir saja bertemu dengan malaikat maut. Untung saja kakaknya menyelamatkannya.
"Kamu nggak papa kan Nar?". Tanya Rejo khawatir setelah berada di samping Winarno. Ia berada beberapa langkah di belakang Winarno jadi tidak bisa menolong adiknya itu. Jika ia berlari maka sama saja dengan mengantarkan nyawanya sendiri. Untung saja Mbaknya itu begitu sigap dan memiliki Indra yang tajam.
"Iya Mas aku nggak Papa". Winarno mengangguk dan menepuk pelan bahu Rejo agar laki-laki itu tidak khawatir.
"Yaudah yuk lanjut jalan lagi, bentar lagi sampai tuh!". Leginem menunjuk arah depan dimana kebun teh itu sudah terlihat. Mereka memang lewat jalan pintas, karena lebih dekat. Hanya membutuhkan waktu 45 menit saja meskipun mereka harus melewati jalanan yang berbahaya.
10 menit kemudian mereka sampai di kebun teh. Sudah banyak pemuda desa maupun ibu-ibu yang memetik teh di pegunungan itu.
Ketiga bersaudara itu berpencar dan memulai aktifitasnya. Mereka mengumpulkan petikan daun teh di keranjang yang sudah disediakan sampai penuh.
Sesekali Leginem akan bersenandung kecil untuk menghilangkan kesunyiannya. Karena tidak ada yang mau mengajaknya mengobrol. Kedua adiknya berada cukup jauh darinya.
"Eh Nem, kalo kerja di sawah ya di sawah aja! Nggak usah ikut-ikut metik daun teh segala!". Ucap Bu Dewi. Salah satu biang gosip di desa Wonowono. Wanita berusia 40 tahun yang sudah memiliki 3 cucu itu sangat di kenal warga dengan ceplas-ceplos mulutnya.
Leginem menoleh ke arah samping. Ia heran kenapa tiba-tiba Bu Dewi berada di sampingnya, bukan hanya Bu Dewi saja, Bu Neneng dan Mbak Retno pun sudah ada di belakang Bu Dewi sambil menatapnya sinis. Perasaan tadi tidak ada orang disekitarnya. Apakah trio ibu-ibu memiliki ilmu menghilang dan muncul begitu saja. Jika ada maka Leginem akan berguru pada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leginem & Mr. Zevin
DiversosLeginem (20 th) sesuai namanya Leginem, ia lahir pada hari Selasa Legi 20 tahun yang lalu bertepatan dengan malam 1 syuro. Ia adalah satu-satunya pemudi yang berpendidikan tinggi di desanya yang berhasil duduk di bangku SMP sampai lulus karena tema...