Ep 5. Minggat

2.4K 200 2
                                    


Terima kasih bagi yang sudah vote dan komen

Selamat membaca😊


🌺🌺🌺


Author POV

Chesa menangis semalaman. Ia merasa tertekan dengan peraturan sang ayah. Ia ingin bebas, mengapa sang ayah sangat berambisi padanya? Apa salahnya ia meniti karir dengan caranya sendiri? Toh yang ia tempuh itu halal dan masih berada dalam jalur yang benar. Mengapa sang ayah selalu menuntut terhadapnya? Mengapa ia tidak bisa menjadi diri sendiri. Seumur hidupnya dari mulai SD hingga bekerja, ia selalu dalam pantauan sang ayah. Ia ingin menjadi diri sendiri. Selama ini ia merasa telah menjadi boneka hidup ayahnya.

Akhirnya hari di mana ia akan dijodohkan dan dipertemukan dengan calon suami pilihan sang ayah, hari itu pula sebelum matahari terbit. Ia nekad minggat dari rumahnya dengan meninggalkan sepucuk surat untuk sang ayah.

Bapak, Chesa sebenarnya sayang sama Bapak. Tapi mengapa rasa sayang yang Bapak berikan pada Chesa adalah ambisi dan tuntutan Bapak? Selama ini Chesa selalu hidup dalam pantauan Bapak. Chesa gak bisa memilih jalah hidup sendiri. Chesa merasa dikekang, merasa menjadi boneka Bapak. Chesa ingin bebas Bapak. Chesa gak mau terus-terusan mengejar ambisi Bapak.

Apa salahnya Chesa menentukan jalan hidup Chesa sendiri? Apa salahnya Chesa mewujudkan cita-cita Chesa? Toh Chesa tidak pernah merepotkan Bapak. Memangnya jika Chesa kerja di perusahaan swasta salah? Memangnya Chesa menjadi programmer salah? Chesa tahu Bapak awam dengan dunia perkomputeran dan teknologi. Tapi mohon, ini adalah era digital bukan era 60-an kelahiran Bapak. Dunia semakin maju dan canggih, Pak. Chesa gak mau kemakan zaman. Maaf Chesa gak bisa wujudin mimpi Bapak. Karena Chesa lebih memilih untuk mewujudkan cita-cita Chesa menjadi Web Developer.

Terima kasih banyak Bapak sudah merawat Chesa hingga sekarang. Maaf Chesa harus pamit. Maaf membuat Bapak kecewa. Dari jauh Chesa selalu mendoakan Bapak. Chesa sayang Bapak.

Anakmu,

Chesa Pridiana

🌺🌺🌺

Pagi buta, ia hanya membawa ransel dan tote bag berukuran sedang. Tidak banyak yang ia bawa. Di dalam ranselnya berisikan dua buah laptop tipe 32 dan 64 bit, dua buah smartphone tipe iOS dan Android, charger, dan kaca mata anti radiasi, satu unit projector mini sebesar telapak tangannya. Dan satu map yang berisi berkas-berkas (*ijazah, surat dan sertifikat penting lainnya) juga harus dibawa untuk apply pekerjaan. Sedangkan di dalam tote bag hanya berisi dua buah pouch (yang isinya uang dan alat-alat kosmetik), dua pasang dalaman, satu kaos putih plus hotpants berwarna hitam, satu kemeja putih plus celana formal hitam dan flat shoes hitam. Sengaja ia membawa satu stel baju formal jika sewaktu-waktu mendapat panggilan kerja.

Tidak banyak yang ia bawa. TV, buku-buku bacaannya, pakaian, tas, sepatu dan tanaman-tanaman herbal yang ditanamnya ia rela tinggalkan begitu saja. Ia sudah tak bisa lagi tinggal di sana. Ia sudah tak mampu menjadi apa yang ayahnya inginkan. Ia juga sudah capek bertengkar terus dengan kakaknya.

Sepanjang jalan ia menahan air matanya agar tidak sampai jatuh. Dengan wajah sembab, ia terus menguatkan keputusannya. Untuk sementara waktu ia akan pergi ke rumah Ibu Kost sang mantan saat masih kuliah. Beruntung memang, ia sudah dianggap anak oleh Ibu Kost tersebut. Chesa bahkan sering diminta menginap jika kebetulan bersilaturahmi ke sana. Apalagi ia sudah lama ditinggal pergi oleh sang Ibu meski sebenarnya itu adalah uwa-nya. Karena kenyataannya sejak bayi ia tidak memiliki orang tua, hanya saja hingga kini ia masih belum mengetahui kenyataan tersebut.

Walaupun hubungannya dengan sang mantan sudah kandas, tetapi tetap hubungan silaturahmi dengan Ibu Kost hingga sekarang tetap terjalin. Lagi pula ia tidak ada tempat singgah lain. Tidak mungkin ia menginap di kostannya dulu, walau Ibu Kostnya sama baik. Tetapi sangat rawan karena sang ayah mengetahui tempatnya.

Satu jam perjalanan ia tempuh hingga sampai di rumah sederhana berlantai dua. Perasaan membuncah ingin segera memeluk Ibu Kost. Mencurahkan isi hatinya yang selalu ia pendam. Ia lebih terbuka pada Ibu Kost itu ketimbang pada ayah dan kakaknya. Karena saat bersama Ibu Kost, ia merasa menjadi diri sendiri.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam," jawab Bapak Kost.

"Eh, Neng Chesa. Lama banget gak ke sini. Mari masuk Neng. Tuh Ibu ada di dapur," Lanjut Bapak Kost dengan ramah.

"Iya Pak. Bapak mau ke mana?"

"Mau ngojek, Neng. Bapak kan udah pensiun. Jadi sekarang banting setir jadi driver ojol."

"Oh, bagus Pak. Seenggaknya masih ada penghasilan, Pak. Semoga banyak yang order ya Pak. Hati hati di jalan."

Selesai berbincang, Chesa segera masuk ke dalam. Ia melepaskan ransel dan tote bag-nya di kursi. Dan segera menyusul ke dapur.

"Ibuuuu," panggil Chesa dengan nada lirih dan berurai air mata.

"Neng, kenapa?" Ibu Kost menoleh cepat dan tersentak kaget begitu menengok ke samping orang yang dikenalnya sedang berurai air mata.

"Ibuuuuu... hiks," Chesa terisak di pelukan Ibu Kost.

"Bentar, Ibu matiin dulu kompornya ya."

Lalu, Ibu Kost membawa Chesa duduk di ruang tamu sambil menenangkan anak itu. Sambil menangis Chesa menceritakan perihal apa yang sedang dialaminya.

"Yang sabar aja Neng. Moga aja, Bapak Neng terketuk hatinya. Pola didik Bapak Neng gak salah. Cuman kurang cocok untuk diterapkan pada anak berkarakter kayak Neng Chesa yang berjiwa bebas dan keras kepala. Ya, jadi malah tertekan ke Neng-nya, ke si Bapaknya jadi pikiran. Semoga Bapak Neng cepet luluh hatinya, mau dengerin keinginan Neng." Tutur Ibu Kost panjang lebar.

"Aamiin Bu. Hiks," Chesa masih menangis sesegukkan.

"Udah sementara di sini aja tinggalnya. Gak usah pusing mikirin biaya, toh ini rumah bukan kostan. Kalo kamu nginep di atas, baru harus bayar hehehe. Kamu pake aja kamar bekas Eca. Dia udah tinggal di mertuanya sekarang." Panjang lebar Ibu Kost seperti biasa selalu ceriwis dan cerewet. Tapi itulah khas Ibu Kost, dan Chesa sayang beliau seperti ibunya sendiri.

Bandung, 28 Maret 2020

Next   ➡️

Programmer Cantik (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang