Argapura (bagian 1)

367 29 4
                                    

Siang begitu sangat terik, matahari seakan membakar ubun-ubun. Gesekan sandal jepit membuat kaki terasa kian panas.

  Jalan pedesaan ini begitu ramai oleh lalu lalang penduduk desa yang akan pergi ke desa seberang. Aku bersama empat temanku yaitu Sultan, Opik, Reski, dan  Anto, ikut dalam perjalanan tersebut. Sebab, sedang ada sebuah pertandingan sepak bola antara desaku dengan desa seberang. Acaranya berlangsung di lapangan desa seberang. Jarak dari desaku ke desa tersebut lumayan jauh. Untuk bisa sampai kesana, kami harus melewati hamparan sawah yang cukup luas dan juga menyeberangi sungai dengan arus yang tidak begitu deras. Belum setengah perjalanan langkahku tersendat. Aku baru saja ingat bahwa adikku sedang sendiri di rumah.

“Teman-teman!” Aku memanggil agar langkah mereka berhenti juga.
“Ada apa do? Kamu terlihat panik sekali.” Tanya Reski kepadaku.
“Aku baru ingat adikku berada di rumah sendirian.”
“Memangnya kenapa do? Ibu kamu kan ada.” Tanya Sultan.
“Justru itu, ibuku sedang tidak di rumah sekarang. Ayahku pun sedang bekerja.”

Seminggu ini Mamak sedang sibuk berjualan di dekat pertandingan sepak bola di selenggarakan. Mamak bilang kepadaku bahwa ini merupakan kesempatan untuk mencari uang. Karena gaji Ayah di kantor kecamatan pun tidak begitu besar, hanya cukup untuk keperluan sehari-hari saja. Jadi, ide Mamak berjualan tak lain dan tak bukan hanya untuk mencari tambahan uang agar bisa ia tabung. Tabungan tersebut untuk biaya sekolahku dan adikku nanti.

“Ya sudah lebih baik kamu jaga saja adikmu di rumah, urusan menonton sepak bola itu nomor dua.” Anton menyarankanku
“Iya do lagi pula kita berjalan belum terlalu jauh, jadi kamu bisa pulang saja.” Sultan menyarankanku demikian.
“Tapi.. Aku sangat ingin melihat pertandingan itu. Karena saat ini desa kita yaang bertanding.”
“Atau begini saja do, kamu sekarang pulang, terus ajak adikmu untuk ikut bersama kita menonton pertandingan. Nah dengan begitu kamu bisa menonton sambil menjaga adikmu bukan.” Opik memberikan ide yang cemerlang kepadaku.
“Nah.. tumben sekali kamu pintar Pik.” Sultan mengolok Opik.
“Hei aku memang pintar dari dulu.” Tegas Opik.
“Sudah-sudah, Pik ide kamu bagus sekali. Baiklah aku akan pulang sekarang menjemput adikku.”
“Baik Do kami tunggu kamu disini.” Kata Sultan.
“Oke aku akan segera kembali.”

Saat tiba di rumah, aku tidak melihat keberadaan dimana adikku. Rumah layaknya gedung tua yang tak berpenghuni. Kosong tak ada siapa-siapa disana. Bahkan adikku saja tidak tahu dimana. Anehnya pintu rumah tidak terkunci. Apa mungkin dia sedang bermain bersama teman-temannya? Kemudian, aku mencarinya ke tempat dimana dia biasa bermain. Tapi, tetap aku tidak menemukan adikku.

“Kemal, kamu lihat Burlian tidak?” Aku bertanya kepada teman adikku yang sedang bermain mobil-mobilan di teras rumahnya.
“Eh kak Ardo, aku tidak melihat Burlian hari ini kak. Bukannya dia sedang sakit? Maka dari itu dia tidak ikut bermain bersama kita.” Kemal menjelaskan kepadaku.
“Iya Burlian sedang sakit, tapi kakak cari di rumah dia tidak ada. Maka dari itu kakak khawatir sekali. Yasudah kakak mau mencari Burlian lagi ya mal.”
“Baik ka.”

Aku bingung kemana sebenarnya Burlian pergi. Di rumah tidak ada bahkan di tempat biasa bermainnya pun tidak ada. Bagaimana bisa aku menemukannya kalau teman-temannya saja tidak tahu dimana Burlian berada. Tidak ada petunjuk untuk menemukannya. Aku baru ingat teman-temankuSedang menunggu di saung dekat rumah Pak Hotap. Kemudian aku segera bergegas untuk menemui mereka.

“Itu Ardo.” Opik mengarahkan jari telunjuknya kepadaku.
“Lama sekali kamu Do, pertandingan sepak bola akan segera dimulai dan kita masih berada disini.” Reski mengeluh.
“Maafkan aku teman-teman, sebenarnya tadi aku mencari Burlian terlebih dulu.”
“Burlian? Bukannya dia sedang di rumah?” Tanya Sultan.
“Iya, saat aku tiba di rumah, tidak ada Burlian disaana. Aku bertanya kepada temannya, tapi mereka tidak tahu.” Aku menjelaskan dengan napas terengah-engah.
“Terus bagaimana? Kamu mau ikut ke pertandingan atau tidak?” Tanya Reski.
“Sebenarnya aku ingin sekali ikut, tapi bagaimana jika terjadi sesuatu terhadap Burlian. Aku bisaa kena semprot mamak. Kalian pergi saja tanpa aku, tapi nanti jangan lupa untuk menceritakan kehebatan pertandingannya ya.”
“Baiklah do, kami harus segera pergi. Sampai jumpa do.” Kata Sultan sambil berlari.
“JANGAN LUPA UNTUK MENCERITAKANNYA KEPADAKU.” Teriakku agar mereka mendengar suaraku dari kejauhan.

Aku pun segera bergegas pergi mencari Burlian kembali. Saat tiba di rumah, Burlian tetap tidak ada. Entah kemana sebenarnya dia pergi. Kemudian aku memutuskan untuk menunggunya di teras rumah panggung tempatku biasa melakukan sesuatu.

Waktu sudah menunjulkkan pukul 16.15, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan Burlian. Sudah dua jam aku menunggu disini sambil melukis pemandangan bukii dekat sekolah. Melukis adalah hal yang paling aku sukai melebihi apapun, bahkan melebihi permainan sepak bola yang sangat aku sukai. Karena bosan menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi mandi dan bersiap-siap untuk salat maghrib.

                           🍃🍃🍃

Saat makan malam tiba, aku hanya terdiam. Marah. Karena aku merelakan kesempatan untuk melihat pertandingan sepak bola desaku sendiri demi Burlian. Tapi apa yang terjadi. Burlian ternyata menonton pertandingan tersebut bersama ayah.

“Adelardo.. cepat habiskan makananmu.” Perintah mamak kepadaku.
Aku hanya terdiam tidak menjawab ucapan mamak.
“Kak Ardo maafkan aku, aku tidak tahu kalau kakak menungguku di rumah.” Ucap Burlian.
“Ardo cepat habiskan makananmu, jangan hanha di lihat tapi dimakan. Kamukan harus pergi mengaji.” Perintah mamak dengan wajah sedikit kesal kepadaku.
Aku hanya terdiam, tak berkomentar.
“ADELARDO, dengar mamak kau berbicara. Janganlah kamu menjadi Anak yang durhaka. Oi! Kau tidak ingat kalau surga ada di telapak kaki ibu. SUDAH CEPAT MAKAN.” Ayah membentak dan menasehatiku.
“Iya yah, maafkan aku.”
Kemudian aku segera menghabiskan makan malam yang sungguh lezat ini.
“Memang apa yang terjadi Burlian.” Ayah bertanya kepada Burlian.
“Jadi gini yah, kak ardo tidak melihat pertandingan sepak bola hari ini antara desa Argapura dengan desa Sukasari.” Burlian menjelaskan.
"TAPI KAMI BILANG KAMU SAKIT. MAKA DARI ITU KAKAK KHAWATIR SAMA KAMU." Jelasku dengan nada tinggi.
"Ardo sudahlah tidak perlu kau mengotot. Ini semua bukan salah Burlian. Ini semua salah Ayah. Ayah yang mengajak Burlian untuk ikut menonton pertandingan itu. Karena saat ayah pulang Burlian sedang berbaring di kasur empuk miliknya. Ayah kasihan melihatnya, dia sendirian. Maka dari itu ayah ajak saja untuk menonton pertandingan." Ayah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Tapi yah, aku merelakan tidak menonton pertandingan itu demi Burlian. Aku khawatir dengannya." Air mataku seketika menetes. Satu persatu.
"Sudahlah untuk apa kau menangis Ardo."
"Mamak tidak tahu rasanya merelakan sesuatu yang sangat aku sukai."

Kemudian aku meninggalkan meja makan dengan isak tangis dan segera pergi ke tempat mengaji tanpa Burlian.

"ARDO!" Suara mamak samar-samar di telingaku. Karena aku sudah menuruni anak tangga rumah panggung kami dengan berlari.

                         🍃🍃🍃

"Do, kenapa kamu?" Tanya Sultan.
"Aku sebal sekali dengan Burlian!"
"Memangnya kenapa dengan Burlian, do?"
"Anak-anak ayo cepat masuk, kita mulai belajar mengajinya." Nek Hindun menyuruh kami masuk.

Nek Hindun adalah tetua di desa kami. Dia sangat ahli dalam agama. Kami semua belajar mengaji di rumahnya setiap malam selepas waktu Isya. Aku memulai mengaji di Nek Hindun saat berumur 7 tahun. Saat itu, ayah menceritakan pengalaman-pengalaman menariknya seputar agama kepadaku. Cerita tentang agama tersebut membuat hatiku tergugah untuk menekuninya. Kemudian aku bilang. 'Yah aku ingin belajar mengaji seperti yang ayah ceritakan kepadaku.' Ayah pun menyetujui apa yang aku katakan. Bahkan ia sangat senang mendengar perkataan seorang anak berumur 7 tahun sepertiku saat itu. Dengan senang hati, selepas isya ayah mengantarku ke rumah ke rumah Nek Hindun.

"Do, apa yang sebenarnya terjadi dengan Burlian." Sultan bersikeras ingin tahu kenapa aku sebal dengan Burlian.
"Oi! Sudahlah tidak usah di bahas,  bagaimana pertandingan tadi siang."
"Pertandingannya seru sekali, do." Ucap sultan.
"Iya, do, seru sekali. Tadi bang Tono mencetak banyak gol. Bang Tono hebat sekali. Tidak sia-sia kami menonton pertandingan itu. Desa kita masuk babak selanjutnya." Opik menceritakan dengan singkat.

Bodoh sekali aku bertanya seperti itu kepada mereka. Hatiku sekarang semakin teriris mendengar cerita hebat itu.

"Oi! Sudahlah jangan membuat Ardo semakin sebal dengar cerita itu." Reski menyarankan agar Opik tidak bercerita panjang lebar tentang pertandingan tadi siang.
"Ardo yang bertanya lebih dulu kepada kami, Res." Opik memberitahu yang sebenarnya.
"Iya, Res, itu salahku. Sudahlah ayo kita pulang, sudah cukup larut untuk anak kelas enam seperti kita."
Saat ini perasaanku sedang campur aduk. Entah kenapa aku enggan untuk berbicara dengan semua orang sekarang. Bahkan kedua orangtuaku apalagi dengan Burlian.

Time TravellersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang