New Jersey

23 2 0
                                    

Kami terdiam sejenak. Melihat indahnya kristal ajaib itu. Kilauan nya membuat mata terpana.

"Bukannya kamu ingin cepat kembali ke masa depan? Kenapa gugup?" Tanya Letta.

"Eh, aku tidak gugup. Hanya saja belum terbiasa dengan semua ini." Ujarku sambil memperhatikan setiap sudut kristal itu.

"Adelardo."

"Iya, ada apa? Kamu sebaiknya memanggilku Ardo saja. Karena kamu sudah menjadi bagian dari sahabatku."

"Iya Adelardo, eh Ardo. Apakah zaman mu itu menyenangkan?" Letta bertanya

"Sangat menyenangkan."

"Oh, iya. Bagaimana kota Atlantis di zaman mu?" Letta bertanya, ingin tahu.

Apakah aku harus berbicara apa yang sebenarnya terjadi kepada Letta? Aku enggan sekali untuk memberitahukan yang sebenarnya. Tapi, Letta harus tahu.

"Emm, apa kamu akan percaya apa yang nanti aku ucapkan?" Letta mengangguk. Raut wajahnya bertanya-tanya.

"Baiklah. Jadi di zaman ku, kota Atlantis hanyalah sebuah cerita yang di ragukan keberadaannya. Dalam buku seorang ilmuwan hebat, tertera bahwa kota Atlantis hancur. Tenggelam. Tak meninggalkan jejak satupun. Tak ada yang tahu keberadaan kota itu dimana." Aku menjelaskan.

"Apa kamu yakin? Bagaimana mungkin terjadi?" Raut wajah Letta semakin penasaran.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi menurut kepercayaan orang-orang setempat, Atlantis di tenggelamkan oleh Dewa laut. Dia marah lantaran penduduk Atlantis sudah tidak taat pada aturan." Aku menjelaskan.

Letta terdiam. Meratapi perkataanku.
Apakah dia sedih mendengar apa yang sebenarnya terjadi?

"Ardo, apakah aku bisa ikut bersamamu ke masa depan?"

"Hah! Apa? Ka-kamu--"

"Aku ingin merasakan tinggal di zaman yang berbeda. Sama seperti mu." Letta memotong perkataanku.

"Bagaimana dengan keluargamu nanti?" Tanyaku.

"Aku hidup sendiri. Entah siapa orangtuaku. Dan dimana keluargaku." Raut wajah Letta berubah sedih.

"Aku di besarkan oleh saudagar kaya yang garang. Dia selalu melakukan kekerasan kepadaku." Tambahnya.

Aku terdiam.

"A-apakah kamu yakin ingin ikut denganku ke masa depan?" Letta mengangguk.

Suasana dalam gua ini sangat lengang. Hanya suara derasnya air terjun yang terdengar sayup-sayup. Aku dan Letta terdiam sejenak sambil menatap kristal ajaib.

"Aku benar-benar ingin pergi ke masa depan." Ucapan Letta memecah keheningan.

"Baiklah. Itu semua terserah kamu. Bagaimana kristal ini bisa membawa kita ke masa depan?" Tanyaku bingung.

"Dengan meletakan tangan kita di atas kristal itu dan menutup mata, kemudian berteriak apa yang kita ingin kan." Letta menjelaskan.

"Kalau begitu apa lagi yang kita tunggu. Ayo segera."

Kemudian, kami mendekati kristal ajaib dan meletakkan tangan di atas kristal.

"Mari kita tutup mata dan fokus pada apa yang kita inginkan." Ujar Letta. Aku mengangguk, segera menutup mata dan berkonsentrasi.

"BAWA KAMI KEMBALI KE MASA DEPAN." Aku berteriak.

"BAWA KAMI KEMBALI KE MASA DEPAN." Letta berteriak demikian.

"BAWA KAMI KEMBALI KE MASA DEPAN." Kami berteriak dengan lantang.

Seketika kristal itu memancarkan cahaya biru yang membuat mata silau. Cahayanya seakan membungkus gua ini. Suara derasnya air terjun sudah tidak terdengar lagi. Itu berarti kami sudah tidak berada di dalam gua.

Time TravellersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang