Awan hitam pekat yang menyelimuti langit malam tadi masih berada di atas rumah-rumah panggung kami. Sepagi ini matahari belum juga muncul. Biasanya jam segini langit sangat indah. Berwarna ungu agak tua.
Gerimis membungkus desaku. Tetes air hilir bergantian jatuh mengenai atap rumah. Halaman dengan rumput hijau terlihat basah. Ayam peliharaan tetangga persis berada di bawah rumah panggung. Berteduh dari derasnya air yang jatuh.
"Do, cepat bangunkan Burlian. Suruh dia cepat mandi." Mamak menyuruhku membangunkan Burlian.
Sebenarnya aku malas sekali membangunkannya. Karena seharusnya dia bisa bangun sendiri tanpa perantara orang lain. Lagi pula tugasku bukan untuk membangunkannya.
"Iya, mak." Jawabku dengan wajah lemas.
"Aduh-duh-duh-duh." Aku memukul kaki Burlian dengan cukup keras.
"Sakit kak." Burlian memasang wajah marah.
"Cepat bangun. Sudah siang. Kau harus sekolah." Ucapku dengan ketus.
"Ya biasa saja membangunkannya, tidak usah memukul kakiku dengan keras. Sakit tahu." Burlian berkata dengan wajah yang sama.
Aku tidak memperdulikan perkataan yang keluar dari mulut Burlian. Bodo amat. Salah siapa selalu bangun terlambat. Padahal dia tidur lebih dahulu dibanding aku.
"Mak... sakit..." Burlian mengadu kepada mamak dengan wajah separuh sedih.
Burlian selalu mengadu kepada mamak setiap perlakuan jahatku kepadanya. Mamak selalu membela Burlian walau bagaimana pun keadaannya. Sekalipun aku tidak bersalah, mamak selalu memarahiku.
"Kau kenapa?" Tanya mamak yang tak mengalihkan pandangannya kepada Burlian. Hanya fokus pada masakannya.
"Mak... lihat dulu.. sakit.. nih.." Burlian memanggil mamak agar melihat kondisinya.
"Kau tidak lihat mamak sedang apa, hah?" Mamak tetap tak mengalihkan pandangannya.
Tiba-tiba tangisan Burlian semakin kencang hingga membuat mamak mengalihkan pandangan. Dan membuat ayah menghampiri dapur.
"Hei.. hei.. kau ini kenapa?" Tanya ayah yang baru saja datang.
"Oi, kau kenapa Burlian? Pagi-pagi sudah menangis." Tanya mamak yang segera menghampiri Burlian.
"Kak Ardo memukul kakiku dengan keras mak, yah. Sekarang kakiku sakit sekali." Burlian menjelaskan dengan nada tersendat-sendat.
"Jangan salahkan aku mak, yah. Aku hanya menjalankan perintah mamak untuk membangunkan Burlian." Wajahku berubah cemas, takut di marahi oleh ayah dan mamak.
"Mamak menyuruh kau untuk membangunkan Burlian. Bukan untuk memukul kaki Burlian. Lagi pula apa susahnya membangunkan dengan lembut, tidak usah kasar. Dia adikmu sendiri, bukan orang lain." Mamak memarahiku sambil mengecek kaki Burlian yang sakit.
Mamak kerap kali memarahiku, meskipun aku tidak terlalu salah. Di mata mamak aku selalu salah. Tidak pernah membelaku. Baik Burlian yang salah sekalipun, mamak selalu menyemprotkan amarahnya kepadaku.
"Kau itu anak sulung. Kau harus menjadi panutan untuk adik kau. Jangan malah berbanding terbalik. Selalu bertengkar dan berbuat jahat setiap saat." Mamak menasehatiku sambil menghentikan tangisan Burlian.
Aku terdiam. Tak berkomentar apapun.
"Sudah, sudah, waktu terus berjalan. Kalian berdua harus bergegas ke sekolah. Burlian sudahlah kau mandi sekarang." Ayah menghentikan amarah mamak.
"Iya, yah." Ucap Burlian dengan wajah lesu.
"Hana, apakah sarapan sudah siap? Aku ingin sarapan duluan. Karena ada hal penting yang harus di urus di kantor pagi ini juga. Jadi aku harus berangkat lebih awal." Ayah bertanya kepada mamak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travellers
Ciencia FicciónIni merupakan kisah empat orang sahabat, teman satu kampung, teman satu sekolah, bahkan teman bermain setiap harinya. Mereka semua terinspirasi oleh kisah seorang ilmuan yang membuat mesin waktu. Kemudian melakukan perjalanan ke masa lalu hingga ke...