Pengelana Waktu (Bagian 3)

63 12 0
                                    

Langit pagi masih gelap. Awan-awan hitam menyelimuti. Cahaya kilat terlihat dengan jelas. DUARR, terdengar suara geledek menggelegar. Memekakkan telinga.

Rintik-rintik air hujan membungkus desaku. Berjatuhan satu persatu. Membasahi rumput-rumput hijau. Membuatnya tampak lebih segar.

"Do, cepat kemari." Mamak memanggilku dari dapur.

Sudah menjadi kebiasaan mamak memasak untuk sarapan setiap pagi. Mamak selalu bangun di saat kami masih terlelap tidur. Maka tak heran, mamak selalu tidur lebih awal dibandingkan kami.

"Iya, mak, sebentar."

"CEPAT DO." Mamak berteriak memanggil.

Mamak memang selalu menyuruhku untuk membantunya. Membantu inilah, itulah. Terkadang aku heran. Kenapa selalu aku yang di suruh. Kenapa tidak Burlian si anak pemalas saja.

"Ada apa mak." Aku berlari menghampiri mamak.

"Ada yang bocor do."

"Di sebelah mana mak?"

"Oi, apakah kau tidak lihat itu?" Tanya mamak geram.

Jelas saja aku tidak tahu. Mamak berbicara tapi pandangannya tetap fokus terhadap apa yang sedang di masaknya.

Saat aku sedang mencari sumber kebocoran itu. Tiba-tiba, duk, suara orang yang terpeleset. Kemudian aku segera menghampiri asal suaranya. Ternyata itu adalah Burlian. Dia terpeleset akibat air yang menggenang. Ya tentu, di atas Burlian lah sumber kebocoran itu berada.

"Kak, tolong aku." Suar Burlian lemah.

"Kau kan bisa berdiri sendiri." Ujarku dengan sewot.

Dalam hitungan detik, Burlian menangis. Keras. Sangat keras. Suaranya seakan membungkus ruangan ini. Bahkan bisa saja terdengar hingga ke luar rumah.

"Hei! Ada apa? Pagi-pagi begini sudah berisik. Malu jika terdengar oleh tetangga." Mamak menghampiri kami dengan tiba-tiba.

"Kak Ardo mak, dia tidak mau menolongku." Burlian berbicara sambil menangis.

Kebiasaan si anak pemalas. Selalu mengadu kepada mamak. Apapun itu selalu di permasalahkan.

"Ardo, mamak kan sudah bilang. Atap rumah ada yang bocor. Kenapa kau tidak langsung mengambil ember untuk menampung tetesan air itu." Mamak mulai mengomel.

"Mamak tidak menunjukan dimana sumber kebocoran itu. Aku tadi mencarinya, mak, tapi tiba-tiba Burlian terpeleset." Aku mulai kesal dengan Burlian.

Kenapa harus aku yang kena marah. Padahal ini tidak murni salahku. Burlian saja yang tidak berhati-hati ketika berjalan. Eh, dia justru berlari. Maka dari itu dia terpeleset.

"Kenapa kau tidak menolong Burlian. Dia adikmu. Tak sepantasnya seorang kakak bersikap acuh kepada adik."

Aku benci menjadi seorang kakak. Kenapa harus aku yang dilahirkan lebih dulu. Kenapa tidak Burlian saja yang menjadi kakak. Aku benci.

"Burlian kan bisa berdiri sendiri mak. Dasar pemalas. Menyusahkan orang lain saja." Raut wajahku berubah menjadi kesal.

Plakk...

Tangan mamak mendarat hebat di tangan kiri ku. Seketika aku berlari menghampiri ayah di ruang kerja.

"Oi, do, kau kenapa?" Tanya ayah penasaran ketika melihat mataku berkaca-kaca.

Aku hanya terdiam. Menunduk. Air mataku hilir jatuh bergantian. Satu persatu. Dengan tempo yang tidak stabil.

"Do, ada apa? Mamak memarahi mu lagi?" Ayah bertanya dengan nada yang sangat lembut.

Time TravellersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang