Pengelana Waktu (bagian 1)

139 20 2
                                    

Raut wajah sebalku dua hari yang lalu masih saja terukir dengan jelas, seperti ukiran sebuah nama di pohon yang dibuat dengan serpihan kaca. Sulit untuk hilang. Bahkan mungkin akan selalu terukir hingga pohon itu rapuh termakan waktu.

"Do, dari kemarin kau cemberut terus." Ternyata Reski terus mengamatiku hingga hari ini. Rasa penasarannya belum juga memudar dari ingatannya.

"Iya, do, sebenarnya ada apa? Apakah kami tidak boleh mengetahui masalah kau?" Tanya Sultan menyelidik.

Lonceng berdentang dengan nyaring. Tanda waktu untuk istirahat telah usai.

"Sudah masuk, nanti ku ceritakan selepas pulang sekolah di saung paman sam."

"Baiklah!" Ucap Opik

"Oi! Sudah lima menit berlalu, pak Joko belum juga datang ke kelas kita." Ucap Sultan, karena tidak sabar menunggu guru yang suka bercerita perihal apapun.

"Sejak kapan kau semangat belajar seperti ini, tan." Anto meledek Sultan yang biasanya tidak sesemangat pelajaran yang lain.

"Sejak..." Ucapan Sultan terpotong, karena tiba-tiba pak Joko datang.

"Assalamu'alaikum anak-anak." Pak Joko mengucap salam ketika hendak memasuki kelas.

"Wa'alaikumsalam pakk!!" Jawab kami dengan serentak.

"Maaf sekali ya, bapak terlambat sepuluh menit masuk kelas. Ini karena ada hal yang tidak bisa bapak tinggalkan." Pak Joko meminta maaf kepada kami semua dan menjelaskan kenapa dia terlambat masuk kelas.

"Tidak apa-apa pak." Ucap Hima dengan sopan.

"Kami menunggu bapak lama sekali." Heri menambahkan apa yang telah Hima katakan.

"Wah... kalian sangat bersemangat sekali untuk belajar. Bapak bangga dengan kalian semua nak." Raut wajah Pak Joko semringah sekali mendengar perkataan itu.

"Pak mana cerita yang bapak janjikan minggu lalu." Celetuk Hotap menagih apa yang sudah di janjikan.

"Oi! Kalian menunggu bapak bukan untuk belajar hah!!" Raut wajah pak Joko berubah.

"Hehe.. kita hanya menagih janji yang bapak katakan minggu lalu. Karena janji itu adalah hutang. Bukan begitu pak?" Sultan menjawab ucapan pak Joko dengan sangat sopan.

"Memang cerita apa yang bapak janjikan kepada kalian? Bapak sudah lupa. Kalian tahu sendiri tuntutan orang dewasa seperti apa." Pak Joko bertanya kepada kami.

Sejak dulu aku tidak suka sekali dengan pak Joko. Entah kenapa setiap jam pelajarannya membuat tubuhku lemah seketika. Bagaikan batang pohon pisang yang berdiri kokoh, kemudian tumbang di terjang angin yang kuat.

Kali ini, raut wajah sebalku bertambah klimaks. Pak Joko menyuruhku mengerjakan soal matematika yang tertera di papan tulis. Kelihatannya soal itu rumit. Atau hanya pikiranku saja yang sedang kacau. Sejak dulu, matematika sudah menjadi pelajaran kesukaanku. Karena soal-soal matematika membuat pikiran siapa saja tergugah. Penasaran. Ingin tahu. Tapi, bisa jadi hantu paling menakutkan yang pernah ada.

"Adelardo, coba kamu kerjakan soal ini. Jika jawabanmu benar, maka bapak akan bercerita sesuatu yang belum pernah bapak ceritakan. Tapi jika salah, maka sebaliknya." Pak Joko menunjuk aku yang sedang termangu di bangku barisan belakang.

Time TravellersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang