Di awal semester tiga, berbagai kecamuk perasaan lelah dan setres yang kurasakan saat semester 1 kembali muncul. Aku semakin merasa kalau ini bukan tempat yang cocok untukku.
Kekacauan ini diperparah dengan Mas Ben yang tengah menjalani KKN selama 2 bulan. Aku jadi tidak pernah berpapasan lagi dengannya, atau melihatnya dari kejauhan saat kebingungan mencari motor di tempat parkir. Dua bulan itu terasa sangat berat untukku. Setiap hari aku terus menghitung, kapan dia akan kembali muncul di kampus.
Aku mengakui bahwa belakangan ini, dia menjadi penyemangatku untuk tetap lanjut kuliah. Bukannya aku mengabaikan kerja keras orang tuaku, sehingga aku tidak menjadikan mereka sebagai motivasiku untuk belajar. Tapi aku tidak munafik, bahwa Mas Ben juga berperan besar dalam hidupku, yang memberiku banyak inspirasi untuk belajar dengan lebih giat lagi. Bertemu dengannya setiap hari, berhasil membuat mood-ku meningkat, sehingga semangatku untuk datang ke kampus menjadi lebih tinggi.
Ketika dia tidak muncul di kampus, rasanya ada bagian kosong di dalam diriku yang mematahkan semangatku. Aku pikir ini hanya terjadi di awal-awal masa KKN dia. Tapi sampai berlalu dua bulan, perasaanku semakin carut marut tidak karuan.
Begitu selesai KKN, dia kembali menjadi asisten praktikum. Kali ini dengan mata kuliah yang lebih berat, namun masih berkesinambungan dengan hewan-hewan, yaitu Fisiologi Hewan Eksperimental untuk mahasiswa semester 5. Aku kesal kenapa dia tidak menjadi asisten praktikum semester 3, supaya bisa mengajarku di lab.
Meski begitu, ruangan lab kami selalu bersebelahan. Setidaknya seminggu tiga kali aku selalu melihatnya. Entah dia baru berangkat ke lab dengan tas ransel Converse-nya, atau dia sedang menjadi asisten yang wira-wiri memakai jas lab khusus asisten.
Kalau beruntung aku bisa satu lift dengannya saat pulang praktikum di sore hari. Selama di dalam lift, aku hanya bisa menunduk, memperhatikan kedua kakinya yang terbungkus sepatu Vans yang itu-itu saja. Ketika kami sudah keluar dari gedung kampus, aku baru berani menatapnya dari kejauhan. Itu saja sudah terasa sangat menyenangkan bagiku.
Setiap hari, aku hanya mengandalkan kemunculan dia untuk mengobati kerinduanku. Sejak lama aku sudah berusaha mencari alternatif lain dengan stalking akun instagram. Ternyata sulit menemukan akun instagram-nya kalau hanya berbekal dengan nama lengkapnya saja. Entah dia memakai nama lain untuk akun instagram-nya, atau dia memang tidak punya akun Instagram.
Seiring berjalannya waktu aku malah membiarkan persaanku semakin menjadi-jadi. Ditambah intensitas pertemuanku dengannya di lab yang lumayan sering, seolah memaksaku berharap kalau semesta memang sengaja mempertemukanku dengannya.
Kehidupan Mas Ben lebih banyak dihabiskan di lab. Terlebih dia sedang sibuk menyusun skripsinya setelah masa KKN-nya selesai. Juga kesibukannya menjadi asisten praktikum. Bayangan burukku soal laboratorium yang sebelumnya tersemat di otakku, kini menghilang. Berganti dengan bayangan sosoknya memakai jas lab khusus asisten dengan wajah innocent-nya, yang membuatku semakin semangat untuk mengunjungi lab sesering mungkin.
Hari-hariku berjalan normal layaknya fan girling pada umumnya yang suka salah tingkah sendiri tiap kali berpapasan dengan dia. Untungnya, aku cukup pandai mengatur ekspresiku, sehingga teman-temanku tidak menangkap ekspresi anehku setiap kali berpapasan dengannya. Padahal, di dalam hatiku sudah berguncang layaknya gempa bumi yang berpotensi tsunami besar. Sayangnya, hari-hari penuh ketenanganku tidak bertahan lama.
"DARYYYN!" Baru saja aku dan Safa berjalan keluar kelas ketika mata kuliah terakhir hari ini sudah selesai.
Aku menghentikan langkah, kemudian menoleh ke belakang. Terlihat Karen sedang berlari ke arahku sambil terus memanggil namaku.
"Ngapain sih tuh anak?" Gumam Safa kesal.
Sebenarnya bukan hanya Safa yang kesal, aku juga. Teriakan cempreng Karen, menyebabkan orang di sekitar kami ikut menoleh dengan penuh penasaran, sekaligus rasa kesal karena terganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thoughts Unsaid
Подростковая литератураKetika menyukai kakak tingkatnya di kampus secara diam-diam, Daryn nggak pernah berharap perasaannya akan terbalas. Dia sudah puas mengagumi sosok itu dari kejauhan tanpa ingin mengenalnya secara langsung. Namun akibat kecerobohan tantenya, Daryn te...