Page 25 • Daryn

42.6K 6.5K 409
                                    

Ini setting ceritanya pas dua tahun yang lalu, jaman masih Come Back to Bed 1, yg pas Mas Bara kecelakaan itu lho! selamat membaca! jangan lupa vote!

***

"Kenapa sih, mukanya tegang banget? Kayak anak SMP mau disunat aja." itu adalah kalimat yang pertama kali diucapkan oleh Mas Ben setelah kami melewati keheningan panjang sejak masih di rumahku, sampai sudah di tempat tujuan.

Tadi, jam setengah tujuh Mas Ben sungguhan datang ke rumahku. Untung saja saat itu Ibu sedang sholat maghrib, sedangkan Bapak belum pulang kerja. Juga Mas Garda yang belum pulang dari kampus. Sehingga aku yang membukakan pintu, dan langsung bergegas mengajaknya pergi, sebelum ada yang melihatnya.

Karena terburu-buru pergi meninggalkan rumah, jantungku jadi berdegup ekstra lebih cepat ketimbang biasanya. Makanya sejak tadi aku hanya diam, karena sibuk mengatur nafasku yang masih terengah-engah. Rasanya aku seperti baru saja lolos dari serangan monster yang mematikan. Bisa runyam semua ini kalau sampai Bapak atau ibuku melihat kemunculan laki-laki di rumah, yang kedatangannya untuk mencariku, bukan Mas Garda.

Tatapanku berubah kesal. Namun, aku tidak mengatakan apa-apa. Sedangkan dia malah tertawa lebar. "Sori-sori, kebiasaan ngobrol sama Brian. Jadi lupa kalo kamu nggak pernah ngerasain gimana tegangnya pas mau disunat. Hehehe ..."

"Besok lagi jangan kayak tadi."

Sepertinya kalimatku yang bernada serius berhasil menghentikan tawanya. Dia menatapku dengan kening berkerut. Saat ini kami sudah sampai di depan kafe yang sepertinya khusus menjual siomay, batagor dan pempek.

"Jangan dateng ke rumah dan nyamperin kayak tadi. Kalo mau jemput aku, tunggu di bawah pohon mangga aja. Terus kirim chat kalo aku udah di depan. Biar aku keluar. Jadi Mas Ben nggak perlu repot-repot turun dari motor." Tuturku, menyebutkan pohon mangga yang berada di seberang rumahku, tepat di depan rumah kosong yang sudah lama tidak berpenghuni.

"Lah, aku kan mau jemput kamu, bukannya mau jemput kuntilanak penunggu rumah itu!" balasnya sengit. Wajahnya tampak tidak suka dengan kalimatku, tapi berusaha menutupinya dengan melontarkan candaan—yang bukannya membuatku tertawa, malah membuatku semakin kesal padanya.

Aku tahu kalau yang barusan aku ucapkan ini terlalu kepedean dan ngesok. Tapi ini semua demi keselamatan hidupku agar aku bisa hidup sampai lima puluh tahun ke depan. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau dia sungguhan berhadapan pada Bapak dan Ibu. Pasti itu akan menjadi malapetaka bagiku. Memang sih, aku tidak tahu apakah Bapak dan Ibu akan marah padaku atau tidak. Yang jelas, sejak dulu aku tidak pernah pacaran. Juga tidak pernah dekat dengan cowok manapun, apa lagi sampai di bawa ke rumah.

Sejak aku SMP, setiap kali Bapak dan Ibu melihat berita soal pembunuhan yang dilakukan oleh pacarnya sendiri, atau kasus pemerkosaan yang dilanjutkan dengan mutilasi, Bapak dan Ibu langsung menceramahiku dan Mas Garda, "Tuh, lihat! Makanya kalo masih kecil nggak usah pacar-pacaran! Di umur yang masih labil kayak gini, belum bisa mikir jernih, emosinya masih belum stabil. Karena umur kayak kalian bukan waktunya untuk pacaran. Tapi belajar. Nanti ada sendiri jatahnya untuk pacar-pacaran. Kalau umurnya sudah cukup, sekolahnya sudah selesai."

Makanya aku langsung menyimpulkan kalau Bapak dan Ibu tidak mengijinkan anak-anaknya untuk pacaran. Begitu juga dengan Mas Garda yang tidak pernah mengungkit-ngungkit soal pacar. Rasanya kata pacaran seperti berada dalam daftar topik yang dilarang untuk dibicarakan di rumah. Karena aku juga tidak terlalu dekat dengan Mas Garda, aku tidak tahu apakah sebenarnya Mas Garda diam-diam berpacaran, atau tidak.

"Mas, aku serius!" aku berusaha menekankan nada suaraku agar tidak terdengar sedang bercanda.

Namun dia hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya, tidak mengatakan apapun. Lalu berjalan lebih dulu meninggalkanku, dan masuk ke dalam kafe kecil yang khusus menjual siomay dan pempek. Aku sengaja mengambil waktu beberapa menit untuk menarik nafas sebanyak-banyak agar paru-paruku yang sejak tadi menciut, kembali mengembang. Selama aku berada di dekat dia, aku jadi agak kesulitan menarik nafas dengan baik. Alias, aku selalu tegang.

Thoughts Unsaid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang