"Cepetan tebak, ini rasa apa?!" seruku sambil menutup sebuah molen di tangan kananku dengan tangan kiriku.
"Kamu curang banget! Aku ngeliatnya belum ada lima detik udah ditutupin!" tangannya memegang tangan kiriku yang tengah menutupi molen, berusaha mengintip molen tersebut. "Liat dua detik lagi dong! Tadi mah cuman tiga detik doang!"
"Enggak ya! Orang aku udah ngitung dalam hati!" aku tetap bersikeras menutupi molen tersebut. "Cepetan tebak!"
Kini dia tampak pasrah. Melepaskan tangannya dari tanganku, dan mulai terlihat berpikir keras. "Yaudah deh, aku salah-salahin aja ya jawabnya. Biar kamu bisa kepo-kepoin aku."
"Alah, bilang aja emang nggak tau!"
"Rasa pisang." Jawabannya membuat aku membuka tanganku yang menutupi molen.
"Coba ya!" aku langsung menggigit setengah molen tersebut agar terlihat bagian dalamnya. Dan lidahku langsung mengecap rasa coklat.
"Salah!" Aku menunjukkan padanya isi molen yang tinggal setengah, dengan senyum penuh kemenangan.
Wajahnya berubah kecewa sekaligus pasrah. Kalau begini, aku malah curiga dia sengaja memberikan jawaban yang salah, agar aku menang. Dan itu menyebalkan banget. Tapi aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan mulai memikirkan pertanyaan apa yang akan kulontarkan padanya.
Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk berpikir keras. Ini adalah kesempatan yang bagus untukku menanyakan pertanyaan yang belum tentu bisa kutanyakan di lain waktu. Ketika sedang fokus berpikir, tiba-tiba saja tangan Mas Ben menggerakkan tangan kananku yang masih memegangi separuh molen yang tadi kugigit, lalu mengarahkan ke mulutnya. Aku hanya menganga melihat dia yang memakan molen sisa gigitanku dengan santai. Memang sih, aku nggak punya penyakit menular atau syndrome semacam OCD begitu. Tapi kan, rasanya aneh aja, kalau harus sharing makanan dengan orang yang nggak terlalu kita kenal.
Hey! Daryn, dia ini pacar kamu tau! Bukan 'orang yang nggak terlalu kita kenal'!
Aku menarik nafas panjang, dan mengerjapkan mata beberapa kali. Gila ya. Aku masih nggak menyangka kalau dia benar-benar pacarku sekarang.
"Jadi ini pertanyaannya apa, Ibu Nanda?"
Keningku mengerut, lalu menoleh ke sekitar, memastikan apakah dia sedang berbicara padaku atau tidak. "Hah? Ibu Nanda siapa?"
"Kamu. Aku kan biasanya lebih sering dipanggil Nanda sama orang-orang yang nggak kenal aku akrab. Jadi nanti kalo kita nikah nih, tetangga-tetangga jadi panggilnya Pak Nanda dan Ibu Nanda." Dia tertawa geli. Omongannya sekarang memang benar-benar sangat menggelikan, dan aku hanya bisa melotot. Bisa-bisanya dia sekarang malah membahas urusan menikah, setelah tadi mengungkit soal anak. Apa coba maksudnya? Dia mau menghamiliku dulu sebelum menikah gitu?
"Heh! Kita baru pacaran belum ada tiga jam!"
"Yes! Jadi yang tadi itu beneran jadian ya?! Berarti aku beneran udah diakui jadi pacar ya?! Yesss!" lalu dia mengambil ponselnya dari saku. "Bentar, aku mark kalender dulu, buat reminder anniversary kita."
"Sumpah aku nggak nyangka deh. Ternyata kamu begini." Gumamku .
Dia langsung mendongakkan kepala untuk menatapku. Perlahan senyumnya merekah.
"Begini gimana maksudnya? Ganteng banget?"
"Gimana kalo kita lanjutin tadi permainannya? Berarti giliran aku tanya kamu kan?" meski wajahnya kesal karena aku tidak menjawab pertanyaannya, tapi dia tetap mengangguk.
"Gimana first impression kamu sama aku?"
Bahkan tanpa berpikir sama sekali, dia langsung menjawab dengan cengengesan. "Waktu itu kan pertama kita ketemu di kafe ya. Waktu itu aku liat ada stiker fakultas kita di laptop kamu. Pas tahu kalo kita satu fakultas, aku beraniin buat duduk, karena merasa kalau nantinya kita nggak akan canggung banget, sebab kita punya satu kesamaan buat dijadiin bahan obrolan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Thoughts Unsaid
Подростковая литератураKetika menyukai kakak tingkatnya di kampus secara diam-diam, Daryn nggak pernah berharap perasaannya akan terbalas. Dia sudah puas mengagumi sosok itu dari kejauhan tanpa ingin mengenalnya secara langsung. Namun akibat kecerobohan tantenya, Daryn te...