Page 7 • Daryn

46.1K 6.4K 107
                                    

Sudah seminggu berlalu sejak Karen memberi tahuku soal kebodohannya itu. Aku belum menanyakan apakah Karen sudah benar-benar melakukan apa yang kuminta. Sepertinya, aku tidak akan menanyakannya. Aku sengaja ingin melupakan itu, karena mengingatnya justru membuatku semakin insecure dan overthinking.

Belakangan ini kecemasanku semakin menjadi-jadi. Aku terus membayangkan kalau mungkin saja teman-teman Mas Ben yang mengetahui gosip itu sedang mengataiku habis-habisan. Seperti "Sok cantik banget deh, berani naksir Ben!" atau "Dikira Ben bakal mau sama elo? Yang lebih cantik dari lo kan banyak! Nggak usah ngarep ketinggian deh!" dan berbagai kalimat nyinyir lainnya yang selalu membuatku ingin menangis.

Padahal itu hanya bagian dari rasa insecure dan overthinking-ku saja. Kalau itu sungguhan terjadi, mungkin aku memilih untuk menenggelamkan diri ke rawa-rawa saja.

Lamunanku buyar ketika ponselku bergetar, menampilkan nama Tante Arsita di layar. Aku langsung meletakkan cup kopiku, dan mengangkat telepon.

"Halo, Te."

"Halo, Rin, Sori ya, gue lupa nggak bales Line lo. Gue baru balik nih dari Jakarta."

Tante Arsita adalah adik Ibuku yang usianya hanya terpaut 5 tahun denganku. Sejak kecil Tante Arsita tinggal di rumahku, sehingga aku sudah menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri. Setidaknya seminggu sekali kami selalu bertukar kabar, karena Tante bekerja di Bandung.

"Santai kali, Te. Kayak sama pacar aja, yang nggak dikabarin langsung ngambek."

Tante Arsita tertawa renyah. "Idih, sok ngomongin pacar, kayak punya pacaran aja!"

"Kalau aku sih, santai, Te. Masih awal kuliah ini, jadi masih punya banyak waktu lah, buat cari pacar. Daripada situ?"

"Nggak usah nyebelin kayak Bapak lo deh! Gue tuh masih jauh banget tau, buat nikah!"

Gantian aku yang tertawa kecil. "Lah, siapa yang ngomongin nikah sih, Te? Kan aku tadi ngomongin pacar!"

"Lagi di mana sih lo? Kok lagunya kenceng banget! Mana lagunya The Adams lagi! Itu kan band jadul banget jaman gue TK lo belom lahir!"

Sepulang kuliah tadi, aku menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu coffee shop dekat kampus, untuk sekedar duduk-duduk santai mencari inspirasi, melamun, dan sedikit-sedikit membaca materi mata kuliah untuk kuis besok pagi.

"Lagi di Janji Suci."

"Wuidih, gaya amat sekarang nongkrongnya di coffee shop! Ketularan orang-orang jadi anak senja kopi lo?"

Aku tertawa lebar. Belum sempat aku menyahuti kalimat Tante Arsita, tiba-tiba saja pandanganku menangkap seorang laki-laki—yang sangat tidak ingin kutemui—tengah berdiri di depan kasir. Keberadaannya seperti berhasil menyedotku ke dalam dimensi lain, yang membuatku tidak peduli lagi dengan sekitar, termasuk ocehan Tante Arsita saat ini.

"Te, udah dulu ya! Aku mau balik nih! Ternyata mendung banget. Takut keburu hujan. Ntar sampai rumah aku telepon lagi!" Tanpa menunggu persetujuan Tante Arsita, aku langsung mengemasi barang-barangku untuk segera pergi dari sini.

Aku tidak boleh bertemu dengan dia. Apalagi sekarang aku dan dia sendirian. Bagaimana kalau dia malah menghampiriku, kemudian meminta klarifikasi soal omongan Karen kemarin? Bisa-bisa aku mati sambil duduk karena kehabisan napas.

Dengan gerakan tergesa, aku merapikan kertas-kertas yang berisi print out materi. Aku menggulung kabel charger laptop sembarangan, dan mengemasinya secepat mungkin. Es kopi susu yang baru kuteguk beberapa kali, terpaksa kutinggalkan begitu saja. Aku tidak mau mengulur waktu lebih lama lagi.

Namun keputusanku untuk langsung meninggalkan tempat ini secepat mungkin, rupanya salah. Sekarang dia malah keluar dari coffee shop juga berbarengan denganku sambil menenteng kantong plastik yang berisi 3 cup minuman.

Aku tidak bisa putar balik ke dalam coffee shop karena dia sudah melihat keberadaanku. Entah aku harus senang atau sedih, saat wajahnya tetap datar dan menganggapku seperti angin lalu. Dengan kaki yang mendadak kram, aku melangkah menuju motorku.

"Mbak!"

Jantungku berhenti dua detik, ketika mendengar suaranya berada di dekatku.

Aku mengedarkan pandangan terlebih dahulu, untuk memastikan apakah panggilan tersebut ditujukan padaku atau tidak, sebelum menoleh. Mataku langsung bertubrukan dengan miliknya, yang memasang wajah datar seperti biasanya.

"Itu tasnya masih kebuka!" Dia menunjuk ranselku dengan santai. Seolah aku memang orang lain yang tidak dikenalnya sama sekali.

Aku melepaskan ranselku dengan kikuk, dan menemukan resleting tasku masih setengah terbuka. Aku berusaha menggerakkan bibirku untuk mengatakan terima kasih. Namun sampai dia pergi dengan motornya, lidahku tidak bergerak sama sekali. Aku tidak berhasil mengucapkan terima kasih.

Jadi, dia benar-benar tidak kenal Daryn yang mana? Lagi-lagi menu makan malamku hari ini adalah sesuap kekecewaan.

***

Thoughts Unsaid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang