"Loh, emang belum masuk ya, Ovo yang gue kirim?" Tante Arsita bertanya dengan nada heran, ketika aku mengatakan kalau malam minggu begini aku tetap stay di rumah sementara Bapak, Ibu dan kakakku pergi keluar.
"Tadi siang udah gue kirimin Ovo kan, Rin? Pakai sono buat foya-foya! Gue tuh sengaja ngiriminnya ke Ovo, biar lo pake buat jajan. Kalau ngirim di rekening lo, pasti malah lo tabung kan?" Tante Arsita kembali mencerocos. Sebuah paragraf panjang yang sudah puluhan kali dia lontarkan padaku, hampir setiap bulan, ketika dia baru saja mengirimkan uang jajan padaku.
"Masih muda tuh, waktunya dimanfaatin sebaik-baiknya. Mumpung masih ada back up-an dari orang tua, jadi bisa lebih bebas deh kalau mau foya-foya. Besok kalau lo udah kerja, atau udah nikah. Beuhh... nyesel lo pasti! Semuanya udah tanggung jawab diri sendiri, mau beli apa-apa harus mikir berkali-kali. Pusing dah pokoknya! Lo nggak akan bisa lagi jalan-jalan ngabisin duit kayak yang bisa lo lakuin sekarang."
Aku membiarkan Tante Arsita terus mengoceh. Sambil kunyalakan mode load speaker, aku membuka aplikasi e-money yang disebutkan Tante Arsita untuk mengecek kebenaran dari ucapannya. Seharian ini, aku merasa tidak mendapatkan notifikasi apa pun dari aplikasi e-money.
Sejak diterima kerja di Bandung, dan memiliki penghasilan yang lumayan, Tante Arsita suka mengirim uang jajan untuk aku dan kakakku. Nominalnya memang nggak menentu. Kadang ditransfer ke rekening, kadang juga ke e-money. Pokoknya suka-suka dia. Katanya, biar aku dan kakakku tidak terlihat seperti orang susah, dan bisa jajan macam-macam mengikuti trend.
"Beneran udah ngirimin aku Ovo, Te?" tanyaku ketika tidak mendapati saldo e-money-ku tidak bertambah.
"Udah, Sayang! Ngapain juga gue bohong! Gue juga udah kirim ke Garda." jawaban mantap Tante Arsita membuatku mempercayai ucapannya, dan kembali bingung.
"Boleh aku liat bukti transfernya nggak, Te? Soalnya barusan aku liat, saldoku belum nambah, dan nggak ada notifikasi apa-apa." Ucapku. "Biar aku chat ke customer service ini emang lagi error apa gimana gitu, Te."
"Masa nggak ada notif sama sekali? Padahal gue udah transfer dari tadi banget. Punya Garda juga udah masuk, tadi dia chat gue." Sahut Tante Arsita sama bingungnya. "Iya, nanti gue kirimin bukti transfernya."
"Makasih, Te. Baik banget jadi makin sayang! Tapi kenapa masih jomlo aja sih?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, agar Tante Arsita nggak terlalu membingungkan saldo e-money-ku.
"Tuh kan, mulai nyebelin!" sungut Tante Arsita. "Kalau saldo Ovo-nya bisa gue batalin, langsung gue batalin nih!"
Aku tertawa. Kemudian Tante Arsita bercerita banyak mengenai kehidupannya sehari-hari di Bandung. Sambil mendengarkan ocehan Tante Arsita, aku melihat bukti transfer yang dikirimkan Tante Arsita.
"Iya, Pak. Saya segera kesana. Shit. Bentar ya Rin, gue tutup dulu. Tiba-tiba dipanggil bos nih! Mana mukanya asem banget lagi! Perasaan report yang dia minta udah gue kasih deh!" Belum sempat aku mengatakan kalau Tante Arsita salah transfer, dia lebih dulu mematikan sambungan telepon.
Aku membaca dengan seksama bukti transfer yang dikirimkan Tante Arsita untuk yang kesekian kalinya. Rupanya Tante Arsita salah memasukkan nomor telepon. Seharusnya angka paling belakang nomorku itu 65. Tapi dia malah memasukkan angka 56. Sebuah kesalahan sepele yang fatal.
Sepertinya Tante Arsita punya rekening baru. Seingatku, bank yang biasa Tante pakai untuk mengirim uang padaku bukan bank yang ini. Jadi tidak ada history transfer yang tersambung dengan akun e-money-ku.
Ketika mengamati bukti transfer tersebut dengan lebih teliti, aku mendapati sebaris nama di atas nomor telepon yang menyebutkan identitas si pemilik akun.
Sekujur tubuhku langsung menegang ketika mendapati sepotong nama yang selama ini membuat jantungku berdegup kencang tidak karuan. Kenapa Tante Arsita nggak sadar kalau nama yang tertulis di sana bukan namaku?
'Ben'
Hanya nama itu yang tertera di atas nomor telepon. Aku tahu kalau nama itu bukan jenis nama yang langka. Bahkan di kampus ini, nama itu bukan hanya ada satu atau dua. Tapi entah kenapa, perasaanku langsung kacau ketika membayangkan satu-satunya orang bernama Ben yang kukenal.
Ah, tidak. Mana mungkin Ben yang dimaksud adalah Ben yang itu. Aku sungguh tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau akun itu benar milik Mas Ben yang selalu menarik perhatianku.
***
Sampai keesokan harinya, aku masih tidak berani memberi tahu Tante Arsita soal ini. Berhubung uang itu sudah terkirim dengan baik, tidak ada alasan bagiku untuk menghubungi customer service. Mungkin mereka hanya akan menyalahkan si pengirim, yang tidak teliti sampai salah memasukkan nomor.
Aku takut kalau memberi tahu Tante Arsita, nantinya dia malah mengirimiku uang lagi, dan mengikhlaskan yang salah kirim itu. Padahal kan uang segitu tidak sedikit. Aku semakin tidak enak kalau harus menguras uang Tante Arsita lebih banyak lagi.
"Rin!" Sentakan tersebut langsung membuat kedua bola mataku mengerjap kaget.
"Lo nggak denger gue ngomong dari tadi?!" Sungut Karen.
Begitu keluar kelas Safa dan Karen mengajakku makan siang bersama. Terakhir yang aku simak, mereka sedang berdebat ingin makan apa siang ini. Setelahnya aku malah melamun saat Karen menyebut-nyebut salah satu nama e-money.
"Lo tuh darah rendah apa gimana sih, Rin? Lemes amat hidup lo!" tukas Karen.
"Jadinya kita makan di NasGil aja ya. Biar bisa bayar pake Ovo. Soalnya ada promo cashback 40%." ujar Safa menyebutkan warung nasi gila yang letaknya berada di belakang kampus. Warung makan favorit kami untuk makan siang.
"Iya, Rin. Siapa tau lo mau traktir kita. Biasanya Tante lo kirimin Ovo tiap akhir bulan kan?" Sekarang Karen sudah kembali cengengesan. Cewek ini selalu blak-blakan dalam urusan apa pun.
Biasanya setiap Tante Arsita mengirimiku uang, aku akan mentraktir mereka makan nasi gila. Selain karena warung itu menerima pembayaran memakai e-money, hitung-hitung sekalian beramal kepada anak kos yang suka krisis akhir bulan.
"Duit yang dikirim Tante Arsita bulan ini, nyasar." Setelahnya aku menceritakan secara singkat kronologis kejadiannya.
"Kenapa lo nggak coba Whatsapp si penerimanya aja? Nomernya ada di bukti transfer itu kan? Coba aja minta baik-baik." Saran Safa.
"Bener! Misal dia nggak mau balikin, kasih fee aja. Seratus ribu kek, apa lima puluh ribu. Yang penting dia mau transfer ke elo duitnya. Tujuh ratus lima puluh ribu itu lumayan banget lho, Rin!" tambah Karen. "Itu bisa dipake beli eye shadow pallete-nya Tasya Farasya yang The Needs, terus dapet cushion-nya Make Over yang baru juga lho! Ah masih kembalian banyak malah! Bisa buat beli sepatu atau baju juga!"
"Yang paling penting sih, bisa buat traktir kita makan NasGil dua minggu berturut-turut, Rin!"
Keduanya langsung mencerocos soal bagaimana mereka akan menghabiskan uang itu. Satu-satunya yang kupikirkan sekarang adalah, bagaimana caranku meminta uang itu?
Bagiku uang adalah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Aku selalu merasa nggak enak hati, terutama kalau membahas soal uang. Bagaimana kalau orang itu tidak mau mengembalikan uangnya, atau mengaku tidak menerima uang itu, lalu nomorku diblokir?
Dan yang paling membuatku pusing, sampai perutku ikut mulas, aku takut kalau pemilik akun tersebut sungguhan Ben yang kukenal. Mana mungkin aku berani menghadapinya langsung untuk membahas uang?
Lebih baik aku menemui orang asing yang tidak kukenal sama sekali, dibanding harus berhadapan dengan Mas Ben. Baru melihatnya lewat di lab saja, degub jantungku langsung berpacu tidak karuan, seperti akan meletus sebentar lagi. Apalagi kalau aku harus duduk di depannya, dan membahas soal uang?
"Nggak usah nebak macem-macem dulu. Nggak ada salahnya lo coba buat chat nomer itu! Setidaknya lo udah berusaha. Daripada lo nyesel karena nggak pernah coba?"
"Iya, kalau misal orangnya nyebelin dan nggak mau balikin duitnya, ya udah. Tapi siapa tahu aja uang itu masih rejeki lo. Jadi bisa balik ke elo dengan gampang." Tambah Safa yang akhirnya berhasil memantapkan diriku untuk menghubungi nomor itu.
Darynta Ilsarika : Selamat siang, maaf mas mengganggu waktunya...
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Thoughts Unsaid
Подростковая литератураKetika menyukai kakak tingkatnya di kampus secara diam-diam, Daryn nggak pernah berharap perasaannya akan terbalas. Dia sudah puas mengagumi sosok itu dari kejauhan tanpa ingin mengenalnya secara langsung. Namun akibat kecerobohan tantenya, Daryn te...