Page 17 • Daryn

39.4K 6.2K 153
                                    

wah udah 100k viewers aja nih! jangan lupa bagi vote-nya dongggg!

Sejak hari paling bersejarah dalam hidupku kemarin, yang kutandai dengan spidol merah berbentuk hati di kalenderku, aku merasa kalau hidupku akan berubah total setelah ini. Perubahan yang paling terlihat akibat kejadian itu adalah, otakku yang jadi sulit berkonsentrasi dan fokusku terpecah belah.

Perbedaan itu semakin terasa ketika para asisten di laboratorium yang seangkatan dengan dia jadi menatapku dengan pandangan menyelidik, dan penuh keingintahuan. Terutama Mbak Amanda, Mbak Kania, dan Mas Fano. Setahuku mereka juga teman akrab Mas Ben di lab.

Tadinya aku berusaha sesantai mungkin menjalani hari-hari praktikumku di lab, karena khawatir teman-temanku curiga kalau aku bergelagat aneh. Namun, Mbak Amanda malah lebih dulu mengeluarkan sinyal-sinyal aneh, dengan mengajakku ngobrol tiba-tiba. Padahal sebelumnya, Mbak Amanda tergolong orang yang cuek, dan jarang mengajak bicara duluan kalau tidak dipancing obrolan lebih dulu.

"Kamu akrab sama Ben ya?" itu pertanyaan Mbak Amanda ketika aku menemuinya di lab untuk menanyakan jadwal inhal. Untungnya Saskia yang sebelumnya ikut serta menemui Mbak Amanda, sedang mengobrol dengan Mbak Agnes di depan ruangan lab.

"Eng—nggak kok, Mbak. Maksudnya... bi—biasa aja kok!"

Mbak Amanda terlihat tidak percaya, dan mengerutkan kening. "Masa nggak akrab? Dia bilang, kamu tetanggaan sama dia. Terus kemarin pas kamu nggak dateng praktikum, dia bilang kamu sakit. Katanya, kamu mau ijin ke aku langsung, tapi takut aku nggak percaya."

Mulutku menganga. Tidak percaya kalau dia akan melakukan ini untukku. Padahal aku sudah membohongi dia, tapi dia malah membantuku. Pantas saja aku tidak terdaftar ke dalam praktikan yang harus inhal. Melainkan disuruh mengganti jadwal praktikum di hari biasa, dan gratis. Biasanya ini diberikan pada praktikan yang sakit dan ada urusan resmi sehingga tidak bisa ikut praktikum. Padahal aku sudah menyiapkan uang untuk mendaftar inhal praktikum bersama Saskia. Tapi yang bisa mendaftar inhal hanya Saskia, karena namaku masuk di daftar praktikan yang sakit.

"Gini ya, Daryn. Aku itu bukannya nggak percaya kalo kamu sakit. Cuman, setiap ijin kayak begini itu harus pakai surat dokter. Nggak bisa seenaknya asal bilang sakit gitu aja. Kamu bukan anak SMA lagi, ya! Dan kalo kamu sakit, tapi nggak ke dokter, at least kamu kasih surat pertanyaan dari orang tua kamu, kalau emang sakit. Terus bilang ke temen-temen kamu juga. Bukannya hilang nggak ada kabar, hapenya mati, nggak bisa ditelepon. Harusnya kalo nggak ada kabar begini kamu kehitung bolos, dan harus inhal!"

Tatapan Mbak Amanda berapi-api penuh emosi. Kemudian dia melanjutkan omelannya. "Padahal paginya kamu masuk kuliah kan?"

Aku benar-benar tidak menyangka Mbak Amanda akan mengomeliku begini. Selama ini Mbak Amanda memang dikenal agak jutek dan nyebelin. Tapi aku baru mengetahui ini secara langsung kalau ternyata dia memang semenyebalkan itu.

"Maaf, Mbak. Kalo gitu, aku nggak masalah kok jadinya inhal aja, dan harus bayar—"

"Bukan masalah bayar atau enggaknya, Daryn! Aku cuman mau ngasih tau kamu prosedur yang bener kalau mau ijin nggak ikut praktikum. Kemarin waktu diabsen, aku tanya ke temen-temenmu kenapa nggak ada satu pun temen kelas kamu yang tau kalo kamu sakit? Emangnya di kelas kamu nggak punya temen?"

Kali ini aku memilih diam. Dengan emosi yang masih belum stabil begini, kalau aku terus menjawab ucapannya, Mbak Amanda pasti akan semakin kesal dan nggak berhenti mencerocos. Jadi lebih baik aku diamkan saja sampai dia capek sendiri.

"Hmm ... Aku lupa nanya. Emangnya kamu sakit apa sih? Separah apa penyakit kamu itu sampe ngabarin temen aja susah banget? Kalo Mbak Gina tau, pasti kamu bakal dimarahin habis-habisan dan tetep dihitung inhal, karena tanpa keterangan!" Mbak Amanda mengambil jeda sejenak, lalu bertanya dengan penuh menghakimi. "Sakit apa kamu? Sariawan? Makanya nggak bisa ngomong?"

Thoughts Unsaid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang