Baru kali ini aku bersyukur tidak pernah berpapasan lagi dengan Mas Ben. Setelah apa yang dilakukan Karen kemarin, rasanya aku tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan dia. Membayangkan saja aku tidak berani. Pasti akan sangat awkward, dan bisa jadi aku langsung ngompol di tempat kalau berpapasan dengannya.
Safa langsung mencak-mencak dan memaksa Karen untuk membersihkan nama baikku. Dia sangat emosi melihatku yang tidak merespon apa pun cerita Karen. Aku malah sibuk dengan pikiranku sendiri, dan memilih diam saja.
"Lo tuh gimana sih, Rin? Kok malah diem aja? Lo nggak marah nama lo dibawa-bawa sama Karen gini? Reputasi lo yang sebelumnya anggun dan kalem langsung rusak nih gara-gara dia!" Safa terus mengompori.
"Ya udah sih, Saf! Maksa banget sih nyuruh Daryn marah! Ini membuktikan kalau Daryn tuh beneran anggun dan kalem. Nggak kayak elo!" Karen mencebikkan bibirnya kesal.
"Jangan bilang, lo emang naksir sama Mas Ben ya, Rin?" Tiba-tiba saja Safa menatapku penuh selidik. "Makanya lo diam aja, karena membenarkan?"
Aku langsung gelagapan. "Loh, justru karena aku nggak naksir dia dan nggak kenal dia. Makanya aku nggak marah."
Alih-alih mempercayai ucapanku, Safa malah ikut menatapku penuh curiga. "Tapi dengan wajah lo yang sok lempeng gini, entah kenapa gue jadi merasa kalau lo lagi menutupi sesuatu,"
"Nggak mungkin beneran kan, Rin?" Karen memastikan sekali lagi.
"Apaan sih? Kenapa malah jadi pojokin aku gini?" sungutku.
"Iya, Ren. Bener kata Safa, kamu bilang ke mereka baik-baik ya. Kalau yang kamu omongin kemarin tuh ngarang. Boro-boro suka sama Mas Ben, kenal aja enggak! Mana bisa nggak saling kenal sama sekali, tapi suka?" Aku sengaja mengulangi ucapan dia untuk meyakinkan diriku supaya tidak terperosok semakin jauh ke dalam jurang ini.
Karen menyanggupi permintaanku, tapi dia meminta waktu untuk menjelaskannya secara perlahan agar mereka semua mengerti.
Sekarang, tinggal aku yang sibuk berperang dengan pikiranku sendiri. Belakangan ini otak dan hatiku terasa tidak sinkron dan suka berubah-ubah tidak menentu. Di siang hari, otakku mengatakan kalau aku harus melupakan dia secepatnya. Tapi hatiku langsung menolak.
Bagaimana bisa melupakan seseorang yang sangat kita cintai mati-matian? Kalau melupakan seseorang itu mudah, maka tidak akan ada lagi quotes-quotes galau yang bertebaran di media sosial. Karena orang-orang tidak perlu merasakan galau berkepanjang karena susah move on.
Sedangkan di malam hari, otakku seperti mengkhianati hatiku, dan malah terus-terusan membayangkan sosoknya yang selalu kuamati diam-diam. Mulai dari gerakan alisnya yang naik turun, atau saling menyatu ketika sedang membaca modul praktikum, postur tubuhnya yang tinggi, sehingga langkahnya panjang-panjang dan terkesan terburu-buru. Juga suaranya yang lantang saat menjelaskan materi praktikum. Semuanya terasa pas dan sempurna.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Thoughts Unsaid
أدب المراهقينKetika menyukai kakak tingkatnya di kampus secara diam-diam, Daryn nggak pernah berharap perasaannya akan terbalas. Dia sudah puas mengagumi sosok itu dari kejauhan tanpa ingin mengenalnya secara langsung. Namun akibat kecerobohan tantenya, Daryn te...