Terik matahari yang menyengat, seakan-akan hanya berjarak 5cm diatas kepala. Panas Jakarta lebih mirip bocoran neraka. Apalagi pada siang bolong seperti ini, matahari sedang berada di zona nyamannya. Sepertinya tempat yang disarankan Diana cocok untuk melepas dahaga kami.
Sengaja kami memilih area outdoor. karena selain di dalam penuh, kedua pria itu ingin menyesap rokoknya. Tidak tahu lagi bagaimana jadinya mereka tanpa sebatang rokok. Pasti akan meronta-ronta. Namun, Yudha tidak seperti biasanya yang menghabiskan beberapa batang. Kali ini dia hanya habis sebatang. Jauh berbeda dengan Gilang. Rokok yang digenggamannya, merupakan rokok ketiganya.
"Rokok terus, gak sayang kesehatan apa? Kasian tuh paru-paru" Ujar Diana sembari menyedot cup boba yang keduanya.
"Eh ngaca dong! Itu diabetes sama ginjal juga udah say hello. Lu pikir boba sehat apa?" Jawab Gilang sembari menunjuk cup boba.
"Gue cuman habis 2 cup lagi, lah elu udah 3 batang rokok. Ya parahan situ lah ya" Sanggah Diana tak mau kalah.
"Seenggaknya gue nggak minum yang banyak gulanya" Saut Gilang
"Lah, seenggaknya juga gue nggak ngerokok" Diana masih tak mau kalah
"Ah, kalian ini berantem terus. Yang namanya penyakit itu tidak ada yang lebih baik. Membandingkan kedua hal yang sama buruknya itu nggak penting" Aku mencoba menengahi mereka. Kalau dibiarkan lebih lama, bisa-bisa tempat ini menjadi arena tinju.
Hari ini kuhabiskan waktuku bersama teman-temanku. Mereka benar-benar membuatku melupakan Kak Nico. Aku berharap perlahan bisa melupakan Kak Nico.
Malam itu sepulang kami bersama, aku melihat fortuner hitam di halaman rumahku. Aku berdecak sebal, tentu saja aku tau siapa tuan dari mobil tersebut. Mengapa dia datang disaat yang tidak tepat? Mengapa disaat aku tidak ingin bertemu dengannya dia hadir?
"Kenapa?" Yudha mendongakkan kepalaku yang sedari tadi tertunduk.
"Kamu lihat kan mobil itu?" Tanyaku pada Yudha.
"Iya mobil kakakmu. Sudahlah mungkin ada urusan dengan papamu. Cuek aja, langsung masuk ke kamar" Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecut.
Yudha melambaikan tangan, sebelum mobilnya melaju. Aku mendesah, menarik nafas panjang. Hanya perlu cuek, dan nggak usah anggap dia ada. Pintu itu kubuka, dan benar sesosok lelaki maskulin sudah duduk dengan mengotak-atik ponselnya.
"Darimana?" Tanya sosok laki-laki itu. Aku membatin 'peduli apa kau hah'. Sayang aku tidak memiliki keberanian mengungkapkan kata-kata tersebut.
"Kuliah, terus main" Jawabku cuek tanpa menatap wajah lawan bicaraku.
"Kuliah? Yakin kamu kuliah hari ini? Aku mencarimu ke kampus. Dan tidak ada tuh kamu" Aku kaget, ngapain kak Nico sampai segitunya mencariku ke kampus.
"Kuliah sebentar, terus main" Jawabku ngawur.
"Tadi yang ngisi kuliah siapa?" Tanyanya
"Prof. Surya" Jawabku sesuai dengan jadwal.
"Masa? Tadi asdosnya tuh yang ngajar" Seperti disambar petir, seketika aku kaget. Membelalakkan mata, oke aku ketangkap basah.
"Ngapain kakak ke kampusku?" Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iseng" Jawabnya santai. Aku terdiam.
"Jadi kenapa kamu bolos? Gini katanya mau ikut bantu usaha papa!" Ujarnya membuatku semakin terdiam. Ingin sekali ku teriak ini semua gara-gara sikap kakak.
"Memang apa urusan kakak menanyakan itu?" Aku mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan kata-kata itu.
"Ya jelas urusanku. Aku berubah pikiran ingin membantu papa lagi. Dan kembali kesini. Memangnya ada yang salah?" Entah aku harus senang atau gimana. Aku senang kak Nico kembali kesini. Disisi lain aku benci dengan sikap kak Nico.
Tidak, tidak ada yang salah. Rasa ini pasti yang salah. Ketika dia disini, pasti hatiku lebih ingin memilikinya.
"Tidak" Jawabku singkat.
"Besok kamu hanya kuliah pagi saja kan? Jam 10 paling sudah selesai. Langsung ke kantor ya"
"Ngapain?" Tanyaku kebingungan.
"Katanya mau belajar. Gimana sih?"
"Kenapa kakak mau balik lagi?" Entah, datang dari mana bisikan itu. Aku hanya mengutarakan apa yang ada dalam pikiranku.
"Karena kakak, mau bersama kamu" Seketika move on ku hancur. Tembok yang kubangun runtuh. Aku hanyut dengan perkataanya yang kian melembut.
"Lalu, di Perusahaan Keluarganya kak Kirana?"
"Kalau aku bisa membagi waktu, untuk bekerja pada keduanya kenapa tidak?"
"Kakak bakalan pindah kesini?"
Kak Nico berdiri dari duduknya. Ia berjalan mendekatiku. Kemudian mengacak-acak rambutku penuh rasa sayang. Iya, rasanya seperti kembali ketika masa SMP dulu.
"Sekarang enggak, kenapa kamu pengen Kakak tinggal bareng lagi?" Iya! Aku sangat ingin menjawab iya. Tapi rasa gengsiku tidak mengizinkan menjawab demikian.
"Jelas nggak, udah nyaman disini tanpa kakak" Jawabku berbohong. Aku tak menghiraukan kakakku. Serius kakak kesini? Aku senang sekali. Bisa melihatnya setiap hari.
Tiba-tiba suara ponselku berbunyi menyadarkanku dari lamunan. Drtt..drt...
"Halo" Sapaku tanpa melihat siapa yang menelfonku.
"Hey, kamu baik-baik saja?"
"Gapapa Yudha.. Kamu belum pulang?"
"Aku menunggu lampu kamarmu menyala. Lama sekali, memang kamu ngapain sama kakakmu? Gak berantem kan?" Tanyanya disebrang memastikan keadaanku. Ah Yudha dia terlalu sempurna untukku. Tapi kenapa aku tidak bisa mencintainya.
"Nggak kok, cuman katanya kakak mau pindah kesini lagi. Sama bantu usaha papa. Kayanya aku gak jadi magang aja deh. Males ketemu dia" Jawabku sembari membanting badanku ke kasur.
"Hey, apasih gitu aja nyerah. Tujuanmu kan membantu ayah. Bukan menghindari kakakmu. Anggap aja angin leeat. Fokus sama tujuan" Perkataan Yudha menusukku. Sebenarnya aku juga ingin mencari kesibukan disini. Agar bisa melupakan perasaanku. Hmm.. Benar-benar cobaan.
"Iya..iya bawel. Kamu mau sampe kapan di depan rumahku? Gak sekalian jadi satpam aja?" Cibirku.
"Boleh, kamu buka lowongan satpam gak?" Tawaku pecah
"Udah sana pulang, nanti telfon lagi" Usirku halus. Yudha pamit pulang dan mengendarai mobilnya.
Aku memandangi fotoku dan foto kak Nico dalam satu frame. Disitu kami sangat berbahagia sekali. Ah aku kangen, tanpa sadar aku meraihnya dan memeluk itu.
"Ini kan ada orangnya? Kenapa harus meluk fotonya?" Suara kak Nico mengagetkanku. Sontak aku terkejut dan berdiri. Malu rasanya melihat aku tertangkap basah.
"Kakak ngapain masuk. Ketuk pintu dulu lah. Ini kan kamarku"
"Ini kan kamar adikku. Jadi gak masalah. Kamu kangen sama kakak? Mau peluk?" Iya mau banget. Rasanya aku pengen lari ke pelukan kakak. Tapi tidak, egoku lebih tinggi. Aku melemparkan guling itu kepadanya.
"Ih apaan sih pergi deh" Tolakku. Dalam hati berkata peluk aku mas, peluk hangatkan aku.
Kak Nico tersenyum picik. Dia mendekatiku yang kini masih duduk. Wajahnya semakin mendekat. Hingga aku dapat merasakan nafasnya. Dan refleks aku menutup mataku. Dia mendekatkan bibirnya pada bibirku. Hingga bibir itu mendarat di keningku. Aku lemas, tembok yang kubangun sia-sia. Aku merasa berselingkuh, padahal dia kakakku sendiri. Tuhan ampuni aku. Yudha, aku minta maaf aku masih mencintai kakakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Step Brother
RomanceNico kini mulai beranjak dewasa. Ia baru mengetahui bahwa ia hanyalah anak angkat keluarganya. Ini merupakan pukulan keras untuk Nico. Dia merasa marah dan benci. Namun ia merindukan Ao, adik kecilnya yang kini beranjak remaja. Apakah Nico mau mene...