Aku bergegas memakai baju untuk mengikuti rapat online dadakan. Pusing rasanya seperti ini. Untung saja libur, kalau tidak otakku akan pecah. Aku menelpon Yudha mengabari agar dia ikut rapat.
"Yud.. Lagi apa?" Tanyaku pada Yudha di sebrang sana.
"Eh kenapa? Ini habis makan. Kok tumben telepon" Sahut Yudha.
"Ini lagi genting sih Yud, tapi kalo kamu sibuk gak apa-apa"
"Kalau memang penting ya aku siap aja kok"
"Sepertinya di perusahaan kita ada penghianat deh Yud"
"Maksudnya gimana?" Tanya Yudha kaget.
"Data penjualan interim kebongkar. Investor pada geram deh. Kasian papa pusing. Ini mau rapat online"
"Eh aku pasti ikut kok. Siapa ya kira-kira penghianat nya? Sepertinya dia menjual informasi ke kompetitor" Ucap Yudha.
"Bisa jadi sih Yud, tapi kita juga gak bisa nanya langsung gitu. Sepertinya memang butuh uang sekali" Kataku geram.
Beberapa menit kemudian kami sudah berkumpul secara online. Namun, lagi-lagi tidak ada titik temu. Akhirnya besok akan ada rapat dadakan.
Pagi ini aku menyiapkan data yang diperlukan. Aku heran yang bisa akses data penjualan kan terbatas. Hanya aku, bersama tim marketing saja. Bahkan tim marketing hanya leadernya saja.
Beberapa investor sudah masuk ke ruang rapat. Sebentar lagi rapat sudah akan dimulai. Rasanya deg-degan. Hidup dan mati perusahaan ditentukan hari ini. Tentunya jika investor cabut secara mendadak, perusahaan papa akan mengalami ketidakseimbangan. Akan sedikit menganggu operasional perusahaan. Cashflow akan terganggu, dan beberapa aset harus dijual segera, tentunya dibawah nilai pasar. Papa akan menderita rugi.
"Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk hari ini. Kali ini rapat akan dipimpin oleh anak saya Nico" Ujar papa. deg... Kak Nico? Apakah dia akan datang?
Papa menyiapkan laptopnya dan menghubungkannya pada projector. Membuka aplikasi video call. Oh ternyata hanya via daring. Aku kira kak Nico akan kesini hari ini. Aku belum siap untuk bertemu. Apalagi pertemuan terakhir kita adalah pertengkaran.
"Selamat pagi semuanya, mohon maaf saya tidak bisa hadir. Saya sedang melakukan penelitian untuk pengembangan perusahaan" Suara Kak Nico terdengar tegas meskipun hanya via video call. Aku mengamati wajah Kak Nico sedikit berubah. Rambutnya lebih panjang dan kumis-kumis tipis tak di cukur lagi. Janggutnya juga mulai ditumbuhi rambut. Kesan manly sangat tercetak jelas di wajahnya. Aku rindu Kak Nico. Dia tak menjelaskan sedang berada dimana.
"Saya harap bapak-bapak tidak terlalu mencemaskan tentang beredarnya data-data penjualan tersebut. Karena sebenarnya itu data belum valid. Karena belum dilakukan audit juga." Ucapnya membuat kami sedikit bernapas lega.
"Sebagai ucapan terimakasih perusahaan kita kepada masyarakat ada baiknya kita melakukan CSR" Lanjut Kak Nico.
"Maaf pak, apa keuntungan yang akan kita dapat? Tentu kami para investor tidak mau uang kami terbuang sia-sia" Tanya Pak Budi salah satu investor kami.
"Baik, CSR kali ini diberikan bukan hanya untuk keuntungan masyarakat. Tapi sebenarnya untuk keuntungan kita juga. Kita akan membangun akses Transportasi umum. Tentunya akan tercetak jelas disepanjang koridor tentang perusahaan kita. Dan lagi kita juga akan menjual properti apartment didekat sana. Jadi para pembeli apartment akan merasakan kemudahan akses. Dan diperkirakan permintaan akan naik" Ujar Kak Nico optimis.
“Baik saya setuju dengan usulan CSR, sepertinya akan meningkatkan profit” Jawab Pak Budi. Dan rencana Kak Nico disetujui oleh para investor lain. Alhamdulillah sekarang masalah masih teratasi. Tapi masalah hatiku belum. Aku masih penasaran setengah mati, dimana Kak Nico berada. Atau jangan-jangan yang ditelfon mama kemarin adalah Kak Nico? Lalu mengapa hanya aku yang tidak diberi kabar. Ah mungkin Kak Nico sibuk berduaan dengan Karina. Menyebalkan tapi ya sudah, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari-hari berlalu, dan desas-desus makin menjadi. Karena penghianat masih berkeliaran di kantor. Krisis kepercayaan mulai terjadi. Dan terjadi saling tuduh menuduh. Membuat kondisi kantor kurang kondusif. Banyak kabar burung mengatakan penghianat adalah Pak Ivan, salah satu dari team marketing. Kondisi tersebut diperkuat karena akhir-akhir ini Pak Ivan membeli rumah baru. Tapi aku sepenuhnya tidak percaya dengan hal tersebut. Pak Ivan aku yakin bukan orang yang seperti itu. Ia tidak mungkin menjual data penting perusahaan untuk kepentingan pribadi.
“Heh, bengong aja ada apasih” Tanya Yudha kepadaku.
“Gak apa-apa, kamu tuh ngagetin aja deh. Kebiasaan banget jadi orang” Balasku kesal.
“Mau makan bareng gak? Sama Diana dan Gilang juga sih” Ajak Yudha. Aku kangen dengan mereka, sudah lama gak ketemu. Sepertinya menarik.
“Mau lah, yuk dimana?” Tanyaku pada Yudha. Yudha berpikir dan memutuskan ke Warung sambel. Ah lapar sekali, sambal-sambal disana begitu menggoda. Aku menelpon mereka berdua secara bersamaan. Aku mengatakan harus datang tidak menerima alasan apapun atau kita tidak akan berteman lagi. Dan terakhir aku mengeluarkan jurus jitu ‘aku yang bayar’ barulah mereka tersenyum seakan-akan bibirnya mau robek. Memang mereka meskipun kaya, tetap saja carinya gratisan.
Yudha melajukan mobilnya ke tempat janjian. Ternyata Diana dan Gilang sudah sampai duluan. Wah mereka terlihat antusias sekali.
“Semangat banget ngab” Aku menepuk pundak Gilang.
“Gue sih ogah-ogahan, cuman males aja aslinya. Kalau gak diancem mah mending tidur” Jawab Gilang cemberut.
“Tau nih, mainnya ngancem-ngancem. Malesin banget” Diana berdecak sebal.
“Ya…Sorry, habisnya mau ketemu kalian susah banget” Aku memasang puppy eyes.
“Bukan kita kali yang susah, lu aja yang sok sibuk” Sahut Gilang.
“Palelo, beneran gue sibuk. Beberapa hari ini perusahaan papa gue lagi kena masalah. Untung aja investor gak jadi cabut” Jelasku.
“Pelik banget keknya, yaudah deh makan yuk laper” Ajak Diana.
Kami saling bercerita dan bercanda mengenai hari ini dan hari-hari kemarin. Tetap saja Diana yang menjadi bahan becandaan. Tiba-tiba terdengar ponselku berdering. Aku menatap layar ponselku, dan betapa kagetnya diriku mengetahui penelpon itu Kak Nico.
“Hallo, kamu dimana?” Tanyanya“Lagi makan sama temen-temen” Jawabku singkat.
“Ada pacar kamu?” Tanyanya cuek
“Ada” Jawabku juga cuek
“Kamu jauh-jauh deh sama dia. Aku rasa dia bukan orang yang baik” Aku sungguh merasa emosi. Bagaimana bisa dia bilang Yudha tidak baik? Apakah dia tak punya kaca. Harusnya dia melihat dirinya sendiri sebelum mengomentarin orang lain.
“Atas dasar apa kakak bilang gitu?” Tanyaku.
“Atas dasar aku sebagai kakakmu. Aku pengen bicara penting”
“Tanya aja”
“Kamu pergi menjauh dikit, aku tidak dengar. Cari tempat yang tidak bising” perintahnya. Aku pamit sebentar, dan menuju kamar toilet yang sepi.
“Aku sudah di toilet” Ucapku.
“Oke, Rencana CSR kemarin tiba-tiba dipakai competitor. Dan bahkan competitor sudah mendapatkan izin mendirikan bangunan” Aku terkejut
“Lalu? Kok bisa?” tanyaku heran
“Sepertinya penghianat kemarin ikut rapat”
“Kemarin hanya aku, kakak, papa, para investor, Pak Deni, sama Yudha”
“Benar, berati tuduhan atas Pak Ivan itu salah. Pasti ada yang menyebar rumor. Aku mencurigai Pak Deni dan pacarmu” ujarnya membuatku marah.
“Yudha? Buat apa juga. Aneh tuduhan tidak berbobot” Ucapku sebal.
“Aku di rumah, kamu segera pulang. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan” Ujarnya. Aku berfikir, kenapa Kak Nico begitu membenci Yudha? Hingga dia menuduh Yudha yang melakukan itu. Aku tidak percaya. Tapi aku akan segera pulang untuk mencari tahu kebenaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Step Brother
RomanceNico kini mulai beranjak dewasa. Ia baru mengetahui bahwa ia hanyalah anak angkat keluarganya. Ini merupakan pukulan keras untuk Nico. Dia merasa marah dan benci. Namun ia merindukan Ao, adik kecilnya yang kini beranjak remaja. Apakah Nico mau mene...