Sembilan belas

4.9K 245 7
                                    

Adiba begitu tergesa saat sudah sampai di lobi rumah sakit. Tanpa ba-bi-bu ia langsung mendatangi ruangan Neza setelah tadi sempat bertanya pada bagian resepsionis.

"Mi, pelan-pelan," seru Arga. Adiba tidak lagi peduli. Yang ia ingini hanyalah, segera bertemu dengan adik madunya.

"Assalamu'alaikum ...." Adiba mengucap salam bersamaan dengan membuka pintu. Tampak Neza yang tengah duduk bersandar tersenyum berbinar.

"Wa'alaikum salam ...." jawab Neza. Adiba menghambur ke pelukan Neza. Kekhawatiran yang teramat sangat membuatnya tak ingin lagi melepas pelukan. Meski sudah lega, tapi ia menyesali akan kepergiannya tanpa Neza beberapa waktu lalu. Jika saja ia tidak meninggalkan Neza sendiri untuk pergi belanja, kejadian seperti ini tentu tidak akan terjadi.

"Neza baik-baik saja, Mbak." Lalu mengelus punggung Adiba yang naik turun karena terisak.

"Maaf, Neza. Jika saja saat itu Mbak nggak pergi keluar, kamu pasti--"

"Ssstt ... sudah, itu bukan kesalahan Mbak Diba."

Adiba melepas pelukan, mengusap air mata. Sesaat kemudian, menoleh Arga yang mematung di belakangnya. Rasa rindu yang membuncah serta kekhawatiran yang sama seperti Adiba rasakan ia pendam. Tidak enak hati jika ia memeluk, melepas rindu pada Neza di hadapan Adiba. Menjaga dua hati, adalah hal yang selalu ia usahakan.

"Bi, nggak kangen sama Neza?" tanya Adiba. Ah, betapa mulia hati wanita ini. Ia bahkan merasa aneh kala mendapati suaminya seolah tidak meluapkan kekhawatirannya kepada Neza.
Arga tersenyum, lalu mendekat. Hati Neza bergemuruh, jika saja saat itu tidak ada Adiba, mungkin ia sudah melompat dari ranjang dan memeluk sosok yang dirindui.

Arga mendekat, berdiri tepat di sisi ranjang. Neza begitu bahagia melihat mereka berdua. Dua hari berpisah serasa dua bulan. Senyum bahagia terukir di bibir keduanya. Ada rindu dalam tatapan mereka.

"Kamu baik, Za? Apa kata dokter?" tanya Arga.
Neza tersenyum, bersiap untuk menyampaikan gambar gembira.

"Baik, Mas dan alhamdulillah Neza--"
Belum selesai  bicara, datang seorang perawat yang mengurus Neza sejak tadi pagi.

"Permisi ... maaf, Pak, Bu, saya akan memeriksa Bu Neza, Karena tidak ingin dirawat inap, kami pastikan dulu kondisi tubuhnya, apakah sudah baik dan boleh pulang. Dan silahkan mengurus pembayaran di bagian administrasi," tutur perawat itu.
Adiba yang menyadari Arga dan Neza terlihat canggung untuk melepas rindu karena keberadaannya-pun memberi kesempatan.

"Biar Ummi yang urus, Bi," pinta Adiba saat Arga sudah bangkit hendak keluar.

"Tapi, Mi." Arga merasa seharusnya itu adalah tugasnya.

"Nggak apa-apa, sekalian beli makanan. Sejak dalam perjalanan kita belum makan, Ummi lapar," tukas Adiba.

"Ummi yakin?" tanya Arga ragu.

Adiba mengangguk lalu bergegas keluar.
Arga kembali menatap Neza. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat. Tapi bibirnya tampak kering.

"Za ...." ucap Arga lirih.
Bentuk sabit terukir di bibir Neza. Serasa ada bulu yang menggelitik perutnya, yang mendorong keinginan untuk segera memeluk Arga. Tapi urung, tentu saja ia malu.

"Neza kangen ...." Kata yang ingin Arga ucapkan didahului sudah.
Arga tersenyum. Dadanya bergemuruh. Ia tahu pasti, bahwa bukan hanya menginginkan, tapi kini Arga juga sudah memeliki rasa itu, rasa yang Neza harapkan. Cinta.

Kemudian ia mengelus, meraih lalu mengecup tangan Neza. Neza tertunduk, malu. Mereka memang bukan lagi remaja yang sedang jatuh cinta. Tapi mereka masih pengantin baru yang belum banyak menghabiskan waktu berdua layaknya pasangan yang baru menikah pada umumnya.

Dilamar Jadi Adik Madu [Terbit]✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang