Tujuh belas

85 13 0
                                        

Dengan telaten Fatin membersihkan luka pada lutut serta pergelangan kaki Azmi. Tidak parah. Tapi cukup parah bila dibandingkan dengan Fatin tadi yang tidak mendapat luka sedikitpun.

Untungnya Fatin membawa kotak p3k yang memang selalu ia siapkan di dalam tas ranselnya itu.

Azmi meringis kesakitan saat Fatin tiba-tiba mengoleskan antibiotik pada lututnya tanpa ia sadari. Saking asiknya meladeni ocehan tak jelas dari Fariz dan Rafi.

"Ah gitu aja kok, cengeng banget lo" ledek Fariz saat Azmi tak hentinya menjerit.

"Awas ya kalau lo jatuh, gak bakal gua kasih celah buat ngerasain oksigen!" balas Azmi sambil melotot tajam kearah Fariz sambil memperbaiki letak kacamatanya.

"Parah.." Fariz menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar penuturan Azmi.

"Lo juga sih, udah tau Fatin habis jatoh disana. Main kucing tikus sama siapa lo ditengah hutan begini?" kali ini Rafi yang mendumel sembari mulai mengurut kaki kanan Azmi yang terkilir, sehabis Fatin membersihkan lukanya.

"Ya mana gue tau Fatin jatuhnya disana"

"Makanya temen sendiri tuh diperhatiin"

Meski sejak tadi Rafi terus mengomel, tapi tetap saja ia khawatir melihat kondisi Azmi sekarang ini.

Belum juga yang satu sembuh dari lukanya. Kini jasa tukang pijitnya kembali digunakan dalam kurun waktu tak sampai 20 menit.

Sesekali Rafi memperhatikan Fatin yang sedari tadi sangat fokus menangani luka-luka Azmi dengan begitu hati-hati. Sangat tenang juga menenangkan.

Rafi tak habis fikir, bisa-bisanya Fatin tahan tak bersuara dalam waktu yang Rafi rasa cukup lama. Ia saja satu menit pun tak akan sanggup untuk menahan agar tidak bersuara. Kecuali dalam keadaan tertentu ya.

"Kenapa lo nggak masuk ekskul PMR aja Tin?" tanya Vania yang sedari tadi memperhatikan Fatin. Menurutnya Fatin sangat mahir menangani penolongan pertama seperti ini. Bahkan saat Azmi jatuh tadi, berbeda dengan yang lainnya ia sangatlah tenang sama sekali tak ada kepanikan. Ia malah mengambil alih Azmi dengan cepat tanpa banyak celoteh untuk segera ia obati.

Mendengar pertanyaan Vania, Fatin reflek tersenyum tipis. Rupanya masih ada tipe orang yang sok tau dan bertanya dengan pertanyaan yang seolah ia telah tahu semuanya.

"Lha? Fatin kan anggota PMR. Malah udah nolak tawaran kakak kelas yang mau jadiin dia wakil ketua ekskul itu" papar Azmi mendahului Fatin.

Mendengar penuturan Azmi itu semuanya sontak membulatkan matanya seolah tidak percaya dengan apa yang Azmi katakan.

"Serius nih?" heran Rafi. Bukannya ia meragukan kemampuan Fatin, hanya saja ini tidak sesuai ekspektasinya. Yang terpikir olehnya, Fatin itu anaknya kutu buku tapi bukan culun juga. Baginya aneh saja anak pendiam macam Fatin masuk ekskul PMR. Ia fikir Fatin akan mengambil ekskul jurnalistik atau semacamnyalah.

Fatin memutar matanya malas ketika Rafi yang mulai bicara. "Terserah kalau nggak mau percaya"

"Seandainya gue tau. Gue masuk disana aja, nggak bakal gue terima tu Osis" tutur Rafi dengan nada kecewa yang dibuat-buat.

"Modus mulu kerjaan lo" sela Fariz diikuti jitakan di kepala Rafi.

Fatin berdecih pelan melihat tingkah dua pria itu. Sudah malas melihat perdebatan tak berfaedah seperti ini. "Udah. Coba lo berdiri" titah Fatin kepada Azmi setelah membalut luka Azmi dengan plaster.

The Fake First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang