Delapan belas

130 13 3
                                        

Jam tujuh pagi, sebuah mobil taxi berhenti tepat di depan rumah putih bertingkat dua, mengeluarkan seorang pria setengah baya dengan kemeja biru kotak-kotak dan celana hitam, serta mengenakan kacamata tipis bergagang hitam.

Tiba di depan pintu ia memencet belnya. Lima menit kemudian pintu terbuka menampilkan seorang wanita yang berusia tiga tahun lebih mudah darinya.

"Ayah? Udah pulang?" ucap wanita paruh baya itu sembari memeluk suami yang sangat dirindukannya itu.

Mereka masuk. Berjalan ke ruang televisi untuk melepas penat sang suami.

"Fatin mana bun?" tanya Setiawan. Ini adalah hari Sabtu. Hari libur untuk sekolah anaknya itu. Namun anak gadisnya itu belum tampak untuk menyambut kedatangannya. Ia sudah sangat rindu dengan putrinya.

Ratna sontak terdiam, menundukkan kepala. Berusaha memikirkan alasan yang tepat untuk suaminya itu. Tidak mungkin ia memberitahu yang sebenarnya bahwa ia telah mengizinkan Fatin untuk pergi bermalam di luar sekolah. Di hutan lagi.

"Oh Fatin. Ta..tadi dia pergi beli ke toko buku"

Setiawan mengerutkan keningnya "Ini bukan hari Rabu loh bun. Nggak biasanya Fatin beraktivitas tak sesuai jadwalnya" herannya, ia sudah hapal betul jadwal aktivitas anaknya itu yang belum pernah berubah sejak SMP.

Ratna mengulum bibirnya kedalam seraya merutuki alasan bodoh yang keluar dari mulutnya itu.

"Fatiin!!" seru Setiawan sambil mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah.

"Dia pergi Yah. Sebentar kok" bela Ratna lagi. "Ayah pasti haus Bunda ambilin minum dulu ya?" lanjutnya mengalihkan perhatian suaminya. Ternyata berhasil, Setiawan mengangguk sembari membaringkan tubuh di sofa abu-abunya.

Pria itu mencari remot tv. Bukannya remot tv ia malah menemukan selembar kertas di bawah meja. Kertas yang berisikan surat izin Fatin untuk mengikuti kegitan Ldk yang sempat tercecer beberapa hari yang lalu sebelum berangkat. Ratna baru menemukannya saat Fatin sudah berada disekolahnya. Alhasil ia hanya memotretnya lalu dikirim ke anaknya itu.

Setiawan membaca lekat-lekat isi kertas yang sudah bertandatangan itu dengan dahi berkerut.

Selang beberapa menit istrinya datang bersamaan ia mengakhiri bacaannya. Setiawan memandang Ratna dengan wajah merah padam menahan emosi. Ratna yang heran dengan ekspresi suaminya itu lantas bertanya "Kenapa Yah?"

Seakan menjawab pertanyaannya mata Ratna reflek menyorot kearah kertas yang ada di genggaman Setiawan. Ratna sontak mengigit bibir bawahnya sambil merutuki dirinya. Lagi-lagi ia ceroboh, seharusnya ia membakar surat izin itu setelah memotretnya. Tamatlah riwayatnya.

"Gi..gini, Fatin-"

"Ini surat izin orang tua kan?" potong Setiawan datar. "Sejak kapan Ayah menyetujui?!"

"Cuma empat hari. Lagi pula ini dibawahi oleh sekolah kok"

"Yakin Fatin dijamin aman disana? Siapa yang siap tanggung keselamatannya disana?" bantahnya lagi dengan nada agak tinggi dan tegas.

"Fatin sudah besar Yah" sela Ratna juga dengan tegas

"Bunda siap tanggung segala resikonya? Selama Fatin belum kembali ke rumah itu tanggung jawab bunda!" balas Setiawan masih dengan nada tegas dan ekspresi datarnya sebelum melenggang pergi menuju kamarnya.

Ratna hanya menunduk. Benar, ini adalah tanggung jawabnya telah mengizinkan putrinya tanpa sepengetahuan suaminya. Namun, ia juga tak sepenuhnya salah. Putrinya itu memang sudah besar dan sudah harus diajarkan mandiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Fake First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang