Tiga

396 25 0
                                        

Jam pelajaran matematika yang telah memberi tekanan batin bagi Fariz itu akhirnya selesai juga. Jika tidak segera diberi penanganan yang baik bisa saja Fariz mati ditempat tadinya.

Untungnya tadi guru mengadakan rapat tiba tiba, entah mengenai apa sehingga Fariz bisa lebih cepat terbebas dari tekanan tersebut "Matematika sialan! Kantin mana? Kantin woy?! Gue butuh oksigen!" seru Fariz ketika guru matematika baru saja meninggalkan kelasnya. Ia kemudian berlari menuju istana kesayangannya itu, kantin.

"Lebay amat cuy!" timpal Rafi yang berjalan dibekakang Fariz.

"Iya tau, yang juara olimpiade matematika" teriak Fariz sinis, ternyata masih mendengar suara Rafi.

Otak dan Perilaku. Dua hal milik Rafi yang sangat bertolak belakang. Tak ada yang percaya bahwa Rafi, pernah bahkan sering meraih juara di olimpiade Matematika.

Waktu Rafi masih duduk di bangku SD, ia pernah meraih juara 1 ajang perlombaan matematika di tingkat nasional. Namun sayang, bukan rejekinya lagi saat ia masuk smp. Saat itu Rafi mengikut ajang yang sama lagi dan hasilnya ia meraih juara dua.

"Fi, Fi, kok sepi?" heran Fariz saat mereka tiba dikantin.

"Ya jelas. Lo nya aja yang kelewat semangat. Kantin nggak bakal ninggalin lo kok, tenang" Rafi mengambil duduk di tempat biasanya, kursi pojok kantin.

"Di kelas cuma bikin pala punyeng Fi, nuansa matematikanya bu Rani masih kesisa" oceh Fariz meneriaki Rafi, ia tengah memesan makanan mereka. Sekarang memang hanya benar-benar mereka berdua siswa yang ada dikantin ini, jadi mereka leluasa untuk berteriak.

"Lo nerima tawarannya kak Darel masuk osis nggak nih?" tanya Fariz saat duduk didepan Rafi, sambil membawa pesanan mereka, mengingat kemarin Darel juga beberapa rekan osisnya yang lain memberi tawaran kepada Rafi untuk masuk menjadi anggota osis.

Katanya Rafi sangat berpotensi untuk masuk organisasi tersebut, bahkan ia di gadang-gadang bisa jadi ketua Osis di peride berikutnya. Entah atas dasar apa mereka berani menyatakan hal itu.

"Osis nggak asik ah" ucap Rafi dengan entengnya.

"Ya di coba dulu kali. Kapan lagi ei" bujuk Fariz.

"Lo sendiri kenapa nggak nerima?"

"Nggak minat" jawab Fariz

"Ya gua juga nggak minat bege!" balas Rafi "Sini Rel!" soraknya lagi memanggil Darel, setelah melihatnya diambang pintu kantin. Kini kantin telah dipenuhi banyak manusia yang ingin mengisi kampung tengahnya.

"Masuk aja Fi. Nggak salah juga kan?" kata Fariz masih melanjutkan perbincangan mereka.

"Dih, maksa banget" Rafi masih kukuh dengan pendiriannya.

"Masuk apa nih?" nimbrung Darel sembari menduduki kursi didepan Rafi.

"Apa? Mau maksa gue masuk Osis juga? Silahkan, traktiran gue berhenti sampe disini" balas Rafi sok dramatis.

"Eh? Anjir, yang tadi bercanda kok" Fariz sontak melototkan matanya mendengar pernyataan Rafi itu. Kalau sudah masalah pemberhentian traktiran begini, ia pasti yang paling panik.

"Beri gue alasan yang membuat lo nggak mau masuk" titah Darel. Ia sepertinya benar-benar ingin Rafi masuk di organisasinya.

"Alasan yang meyakinkan, nggak ada. Kalau alasan yang buat lo puyeng ada, mau yang mana?" ucap Rafi lalu menyuapkan bakso ke mulutnya.

"Bodo amat!" kesal Darel. "Btw, gimana nih? Lancar nggak ama si anaknya pengacara itu?" lanjutnya lagi, mengalihkan pembicaraan.

"Anak pengacara?" Rafi bingung siapa yang Darel maksud.

The Fake First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang