Ini sudah hari ke-2 Annika mendekam di dalam kamar di kediaman keluarganya, Surabaya. Setelah insiden yang terjadi di café sang kakak, Annika segera pulang ke apartemen, mengemasi barang-barang penting dan pergi ke bandara setelah membeli tiket untuk kembali ke Surabaya. Ia cukup bersyukur karena Ivena dan Letty tidak berada di apartemen saat ia pulang, ia belum siap menghadapi rentetan pertanyaan dari dua orang gadis itu.
Annika bahkan sengaja tidak menjawab semua pesan dari orang-orang terdekatnya. Ia bahkan hanya membalas komentar Yoga di salah satu sosial medianya. Ia tidak butuh pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang mengingatkannya akan pria menyebalkan yang kini menyandang status menjadi mantan kekasihnya. Ia juga tidak butuh permintaan maaf dari orang-orang yang mengaku ingin melindungi perasaannya.
Annika tidak butuh semua itu. Annika hanya ingin sebuah pelukan dan bahu yang bisa ia jadikan sandaran untuk menumpahkan emosinya yang telah menumpuk.
Annika hanya ingin seseorang yang bisa menemaninya dan tidak memberikan komentar apapun. Cukup dengan berada disisinya, mendengar suara tangis Annika dalam diam, semua itu sudah cukup bagi Annika.
"Mikirin apalagi?"
Suara berat yang menyapa indra pendengarannya, serta pelukan erat pada pinggangnya membuat Annika beringsut mendekat, menyandarkan kepalanya pada dada bidang sosok yang kini semakin mengeratkan pelukannya.
"Nothing."
Helaan nafas berat terdengar, membuat Annika merasa sedikit bersalah telah mengeluarkan jawaban tadi.
"Is it that hard to tell me what's on your mind?"
Annika menganggukkan kepalanya dengan pelan, memainkan kancing kemeja pria dihadapannya yang kini menenggelamkan kepalanya pada puncak kepala Annika. "Kamu udah lupa gara-gara siapa aku harus ambil alih nyctophile?"
"Really? Harus ya kamu bahas itu lagi?"
Annika mendengus. Ia mengangkat kepalanya, memicingkan mata menatap saudara kembarnya. "Menurut kamu? Kamu pikir aku bakal ngelupain kamu yang tiba-tiba hilang entah kemana, dengan santainya ninggalin aku dengan semua tanggung jawab menyebalkan ini?"
Annika kembali mendengus saat saudara kembarnya itu mengabaikan pertanyaannya dan tetap memejamkan mata sembari menghirup wangi shampoo Annika--coklat.
Oh, Annika jadi ingat kebiasaan Arjuno yang juga suka mencium rambut Annika. Arjuno bilang, rambut Annika menjadi bau favorit Arjuno, bau coklat. Pria dengan undercut andalannya itu suka sekali menenggelamkan wajahnya pada pucuk kepala Annika--sama seperti yang dilakukan saudara kembarnya saat ini. Arjuno bilang, itu salah satu cara sang pria mengisi tenaganya--yang tentu saja selalu mendapat tatapan aneh dari Ivena jika Arjuno mulai menenggelamkan wajahnya pada puncak kepala Annika.
"Keinget Arjuno lagi ya."
Usapan pelan pada pipinya membuat Annika sadar bahwa pipinya telah basah. Annika memejamkan mata, menyembunyikan wajahnya pada dada saudara kembarnya. "Aku capek. I hate him. Aku benci dia, tapi sialnya dia selalu muncul gitu aja di ingatanku. Aku harus gimana, Yoga? Aku benci sama diriku sendiri karena bisa-bisanya kangen sama cowok kayak dia."
Tidak ada balasan apapun, namun pelukan Yoga yang semakin erat dan elusan pelan pada punggungnya cukup membuat Annika tahu bahwa saudara kembarnya itu mengerti apa yang ia rasakan.
"Gimana kalau... kita jalan-jalan hari ini?"
Annika mengeryit, beranjak mundur sembari menatap Yoga dengan raut bingung. "Jalan-jalan?"
"Hm. Aku pikir ini saatnya kamu harus... move on. Dan itu semua dimulai dengan..."
Senyum lebar pada wajah saudara kembarnya membuat kedua alis Annika terangkat. "Dengan.....?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Fake Lover ✔
Любовные романыOrang bilang move on itu gampang. Bahkan orang-orang di sekelilingnya memberitahu Annika bahwa move on itu semudah membalikkan telapak tangan, apalagi ia cantik, sudah pasti banyak pria yang mau menjadi kekasihnya. Tapi waktu sudah berjalan 6 bulan...