Dari kejadian yang menimpa Annika--dan juga keluarga Annika--ada beberapa hikmah yang Annika bisa ambil. Yang pertama tentunya, ia terbebas dari ikatan pria playboy--yang namanya tidak ingin Annika sebutkan lagi. Kedua, saudara kembarnya yang selama beberapa tahun ini menghilang entah kemana dan hanya mengirim pesan sesekali untuk memberitahu anggota keluarga yang lain bahwa ia masih bernafas di muka bumi ini, memutuskan untuk kembali dan bertindak sebagai seorang kakak yang benar bagi Annika. Terakhir, sang ayah yang selama ini jarang berada di rumah, memutuskan untuk mengambil cuti dan mengantar ketiga anaknya kembali ke Jakarta.
Ya, setelah diskusi panjang yang melibatkan perdebatan antara Yoga, sang ayah, serta Ayodya--dan Annika serta sang ibu yang hanya menjadi penonton--ayah dari ketiga anak itu setuju untuk menghapus nama Annika sebagai penerusnya dan menggantinya dengan Yoga dengan syarat, Annika harus ikut kembali bersama Ayodya ke Jakarta. Tentu saja Annika melancarkan protesnya. Namun saat mendengar bahwa Yoga juga ikut ke Jakarta untuk memulai debutnya sebagai penerus usaha keluarga sekaligus mengambil alih nyctophile, Annika langsung setuju tanpa mengeluarkan protes lagi.
Memang, dibalik segala sesuatu yang terjadi pasti ada hal baik yang menunggu di akhir.
Karena itu, kini Annika tengah menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi dengan tatapan kosong. Di sisi kanannya, Ayodya tengah sibuk dengan ponselnya, sedangkan Yoga dan ayah mereka tengah berdiskusi dengan suara pelan hingga Annika tidak bisa menguping pembicaraan kedua pria itu.
Jujur saja, mengingat ada kemungkinan bahwa ia akan kembali bertatap muka dengan wanita brownies dan pria yang-namanya-tidak-ingin-ia-sebut membuat perasaan aneh muncul di dalam diri Annika. Ia tidak bisa mendeskripsikan perasaan apa itu. Tapi yang jelas, perasaan ini selalu muncul setiap Annika akan melukai titik vital lawannya.
Perasaan bahwa ia tahu lawannya akan kesulitan untuk berdiri lagi saat ia--
"Annika."
Suara penuh wibawa itu berhasil membuat perhatian Annika teralihkan. Kini ia menatap sang ayah, yang tengah mengulas senyum tipis--hal yang membuat Annika terkejut karena sang ayah jarang menunjukkan hal itu padanya. "Papa sudah beli apartemen untuk kamu dan Yoga tempati. Dekat dengan kantor Yoga nanti. Apartemen itu juga dekat dengan tempat kursus melukis, kalau kamu mau...menekuni hobimu, biar Papa urus pendaftarannya."
Perkataan sang ayah tidak hanya membuat Annika terkejut, namun kedua saudaranya ikut menatap sang ayah seolah pria itu bukanlah ayah kandung mereka.
"Papa...serius?"
Mobil yang mereka tumpangi seketika berhenti tepat di depan gedung apartemen tempat Annika serta teman-temannya tinggali saat ini. Seolah mengerti, Yoga serta Ayodya segera keluar dan memberi waktu untuk Annika dan ayah mereka berbicara berdua.
"Papa...minta maaf karena sudah keras sama kamu selama ini."
Suara sang ayah yang kini tidak berwibawa seperti biasanya, serta ekspresi sedih yang tertera pada wajah pria yang ia anggap menjadi penyebab masalah di dalam hidupnya selama ini membuat dada Annika sakit.
Annika menggelengkan kepala, meraih kedua tangan sang ayah dan menggenggamnya dengan erat. "Papa kenapa minta maaf? Aku...sedikit paham kalau Papa cuma mau yang terbaik buat aku sama kakak."
Sang ayah menghela nafas berat. Tangan pria itu terulur, mengelus pelan kepala Annika yang membuat dada Annika semakin terasa seolah ia sedang ditusuk.
Kini, ia bisa melihat secara jelas rambut sang ayah yang sebagian besar dihiasi warna abu-abu, wajahnya yang kini dihiasi beberapa garis pertanda usianya yang semakin menua, tubuhnya yang tidak terlihat sekuat dulu, semua kini terpampang jelas di mata Annika.
"Papa stress waktu tahu Yoga kabur karena dia tahu kalau papa berencana untuk bikin dia jadi penerus. Disaat bersamaan, kakakmu, Ayodya, memilih untuk buka usaha sendiri dan nggak mau belajar tentang bisnis keluarga kita. Papa nggak mau membebankan semua hal ini ke kamu, apalagi soal nyctophile. Tapi papa nggak bisa biarin bisnis yang eyang, papa dan mama bangun dari nol, jadi hancur dan jatuh ke tangan orang lain. Papa semakin tua, bahkan mamamu sudah nggak fit seperti dulu. Papa juga nggak mau anak-anak nyctophile, yang sudah papa didik dari mereka remaja, tercerai berai dan nggak punya 'rumah' untuk mereka kembali."
Penjelasan dari sang ayah kini membuat Annika sadar akan gambaran besar tentang semua yang selama ini dibebankan padanya.
"Papa nggak tutup mata dengan semua yang terjadi di Jakarta. Kamu yang jadi pelayan di café Aya, Vena yang kamu tempatkan di desa dengan CEO Reksa company, nyctophile yang terpecah jadi dua kubu, papa tahu semuanya."
"Terus...kenapa...."
"Papa tahu kamu nggak suka kalau papa ikut campur urusanmu. Papa memilih membantu kamu diam-diam. Setidaknya, itu hal yang harus papa lakukan untuk kamu. Papa sudah mengacukan hidupmu, sampai papa nggak tahu harus mulai darimana untuk mengembalikan semuanya dari awal. Dan saat papa sadar, papa sudah terlambat. Kamu sudah...terlalu jauh menghilang."
Ah. Pantas saja selama ini segala masalah yang berkaitan dengan nyctophile dapat terselesaikan dalam kurun waktu yang terhitung cepat.
"Papa...minta maaf. Mulai sekarang, kamu boleh melakukan semua yang kamu mau. Papa nggak akan memaksakan kehendak papa lagi. Papa cuma mau kamu bahagia. Kembali jadi putri papa yang paling manja sama papa. Bayi papa yang hanya bergantung sama papa."
Annika tidak sadar bahwa air matanya telah membasahi pipinya sampai tangan sang ayah menyeka air matanya. Usapan lembut pada pipinya membuatnya sadar, bahwa ia sungguh-sungguh merindukan kehangatan yang sudah lama tidak ia terima dari pria dihadapannya. Tangannya terulur, memeluk erat sang ayah yang segera merengkuhnya dan mengusap pelan punggungnya.
Kali ini, Annika yakin bahwa ia siap memulai lembar baru dihidupnya. Ia tidak perlu merasa takut dan khawatir lagi, karena dengan menghilangnya orang yang ia kasihi, ia bisa melihat dan menerima kasih sayang dari orang yang lebih menyayanginya selama ini.
"PAA! Kak Aya kekerasan terhadap adik sendiri Pa!"
Teriakan itu berhasil memecah suasana haru diantara sang ayah dan putrinya itu. Secara bersamaan, mereka melihat keluar jendela. Tawa Annika pecah saat melihat Yoga yang meringkuk dengan Ayodya yang tengah memukuli saudara kembarnya dengan bantal leher berwarna biru.
"SANA! PERGI AJA MERANTAU LAGI! ADEK NGGAK TAU DIRI!"
Helaan nafas terdengar, membuat Annika kembali melihat sang ayah yang menatap pasrah pada kedua anaknya yang berada di luar. Annika terkekeh, menatap geli sang ayah. "Kenapa Pa?"
Sang ayah kembali menatapnya, mengulas senyum tipis dengan ekpresi yang kini terlihat menyesal. "Bayi papa nggak mau daftar jadi penerus papa lagi? Jadi second candidate mungkin?"
Dan tawa Annika pecah untuk kedua kalinya.
×××
Jadi, maaf sebelumnya lama nggak update cerita ini :") aku udah agak lupa juga cerita ini karena (sok) sibuk di kehidupanku :") semoga kalian suka chapter ini~
•●•
Salam dari yoga :"siapa yang cari masalah sama Annika?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Fake Lover ✔
RomanceOrang bilang move on itu gampang. Bahkan orang-orang di sekelilingnya memberitahu Annika bahwa move on itu semudah membalikkan telapak tangan, apalagi ia cantik, sudah pasti banyak pria yang mau menjadi kekasihnya. Tapi waktu sudah berjalan 6 bulan...