38 : Please, Be Happy

362 56 11
                                    

Baik Ayodya maupun Ivena--yang saat itu sedang membantu di café--menatap bingung Annika yang muncul dari balik pintu. Keduanya saling lempar pandang, menyadari ada yang aneh saat Annika muncul sendirian dan tidak bersama sosok yang seharusnya menemani wanita itu dari Surabaya. 

"Dek? Kamu kok sendirian? Seno mana?"

Annika tidak menjawab pertanyaan sang kakak. Wanita itu beranjak masuk ke dalam dapur, sebelum memeluk erat sosok bersurai pirang yang terdiam saat merasakan lengan Annika melingkari perutnya. "Bang..." 

Tubuh Agus menjadi kaku saat mendengar suara Annika yang sedikit serak. Pria itu hanya diam, membiarkan Annika menggenggam erat apronnya. 

"Capek." 

Mendengar satu kata yang sangat jarang diucapkan Annika, Agus meletakkan alat-alat yang sejak tadi masih berada dalam genggamannya dan melepas pelukan Annika. Pria itu berbalik, menangkup pipi Annika dan menatap tepat pada kedua bola mata sang wanita yang berkaca-kaca. "Then what do you want me to do? Tell me."

Annika terdiam selama beberapa saat, sebelum mengulas senyum kecil. "Selesai ketemu dia, abang temenin aku ya?"

Sesaat, kedua alis Agus menyatu, sebelum pria itu menganggukkan kepalanya.  "Aku tunggu disini."

---

Kondisi restoran saat ini persis seperti saat Seno pertama kali mengajaknya makan di tempat yang telah menjadi langganan keluarga Widjaya itu. Pengunjung yang tidak terlalu ramai, instrument piano yang mengalun pelan, serta aroma samar roti yang baru keluar dari oven mengisi ruangan dengan tema vintage tempat Annika menunggu saat ini. Wanita yang sejak tadi asyik menyeruput coklat hangat, mengangkat kepalanya saat seseorang mengetuk mejanya dengan dua jari. Tatapannya jatuh pada pria yang mengulas senyum lembut, dengan undercut andalannya serta kaus hitam dan celana jeans--pakaian wajib bagi sang pria saat sedang tidak di kantor.

"Hei, udah lama nunggu?"

Annika menggelengkan kepalanya, "Nope."

Senyuman pria itu melebar, menampakkan gigi kelincinya. "Aku kaget kamu tiba-tiba minta ketemuan, makanya aku buru-buru minta Fira kosongin jadwalku hari ini. Oh? Kamu nggak pesan milkshake?"

Pertanyaan pria itu membuat seulas senyum muncul pada wajah Annika. Tatapannya yang kembali pada coklat hangat menjadi sendu, teringat akan seseorang yang membuatnya menyukai coklat hangat. "Well, someone told me that this one taste better than milkshake."

Kedua alis sang pria terangkat, rautnya terlihat penasaran saat mendengar jawaban Annika, apalagi melihat wajah Annika yang sempat terlihat sedih--meskipun hanya sekilas. "Oh...okay. Jadi...gimana kabarmu?"

Annika mendengus mendengar pertanyaan basa-basi dari pria dihadapannya. Ia menatap sang pria dengan mata yang menyipit. "Setelah putus dari lo?  Actually, tujuan gue minta ketemuan sama lo hari ini ada sangkut pautnya dengan pertanyaan lo."

Ingin rasanya Annika tertawa saat melihat rahang Arjuno yang mengeras. Ia tahu betul kalau pria yang pernah menjadi kekasihnya itu sangat benci saat Annika berbicara dengan menggunakan 'lo-gue'. Annika tidak habis pikir. Setelah semua yang terjadi, pria itu masih mengharapkan Annika untuk bersikap seperti kekasihnya?

Ha. Shameless.

Melihat Arjuno yang terus diam--bahkan tidak merespon pelayan yang datang memberikan menu--membuat Annika menghela nafas pelan. "Jun... menurut lo, semua ini berawal darimana sih? Gue yang emang kurang perhatian, atau--"

"Ingat waktu Papa minta ketemu sama aku?" potong Arjuno.

Annika mengeryit, berusaha menggali ingatannya. Namun, yang ia ingat hanya saat seluruh keluarganya meminta untuk bertemu dengan sosok 'Arjuno' yang berani mengajak seorang Annika Dakka Nirta pacaran--mengingat Annika terkenal dengan saudara  kembar yang sangat protektif. Ia tidak berhasil menggali ingatan tentang--tunggu dulu. "Maksud lo...waktu kita baru aja masuk kuliah dan Papa bilang mau meeting sama kamu soal bangun kantor baru?"

Not a Fake Lover ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang