32 : Melepas Topeng

366 56 32
                                    

Sehari setelah Annika pergi ke Surabaya

Suara ketukan pintu yang memotong percakapan antara dua pria di dalam ruang meeting itu membuat ekspresi Yoga berubah menjadi keruh. Melalui gerakan jarinya, ia memberi kode pada wanita yang menjabat sebagai sekretarisnya agar segera masuk. Sang sekretaris—yang melihat ekspresi Yoga melalui dinding kaca ruang meeting—menelan ludah, sebelum masuk demi menyampaikan pesan penting yang membuat keadaan di kantor menjadi kacau.

"Maaf pak, ada tamu penting yang mencari bapak—"

Sekretaris itu seketika terdiam saat melihat ujung bibir Yoga terangkat, membentuk senyuman yang entah kenapa terlihat licik di matanya.

"Can't you see kalau saya masih ada tamu?"

"Tapi pak—"

"Saya masih sibuk. Tell him kalau mau bertemu dengan saya, tunggu hingga saya tidak sibuk atau buat janji melalui kamu."

Jawaban final yang dilontarkan oleh Yoga membuat wanita itu menyerah dan segera undur diri—tentunya sembari menyesali keputusannya yang telah melamar menjadi sekretaris pria menyebalkan yang sayangnya menduduki posisi lebih tinggi darinya.

---

"...apa?"

Sekretaris itu menundukkan kepala, kembali mengulangi kata-kata yang telah ia sampaikan pada pria dihadapannya. "Maaf, saat ini Direktur kami sedang ada meeting, jadi belum bisa bertemu dengan bapak saat ini."

Ingin rasanya sekretaris itu mengirimkan surat pengunduran diri saat itu juga saat melihat tatapan tajam yang dilayangkan pria dihadapannya—yang membuatnya berani menyela pertemuan sang atasan dengan salah satu pemegang saham besar di perusahaan mereka.

Helaan nafas yang berasal dari pria dihadapannya membuat sang sekretaris kembali mengangkat kepala, meremas salah satu tangannya saat melihat sang penerus Widjaya kini memejamkan mata sembari mengelus pelipis—seolah ia baru saja menerima berita yang sangat buruk.

"Lalu..."

Tatapan tajam disertai ekspresi wajah yang kian keruh membuat sang wanita menjadi ragu untuk meneruskan kalimatnya. Namun mengingat atasannya yang sedikit 'gila', ia menggenggam pergelangan tangannya dengan erat, sebelum meneruskan kata-katanya dengan harapan ia bisa menyudahi pertemuan antara dirinya dan penerus keluarga Widjaya dihadapannya.

"Karena jadwal beliau cukup padat, beliau meminta bapak untuk menunggu hingga jadwal beliau yang lain telah selesai...atau bapak bisa membuat janji dengan beliau melalui saya."

Helaan nafas kembali terdengar, membuat sang sekretaris semakin mengeratkan cengkramannya—hingga ia bisa merasakan sakit di area pergelangan tangannya. Kehadiran Seno benar-benar membuatnya merasa gugup dan takut.

"...jam berapa atasan anda bisa ditemui?"

Wanita itu meneguk ludahnya, menyadari bahwa jawaban yang akan ia berikan bisa membuat mood pria dihadapannya semakin memburuk. "Pukul...9 malam pak."

Rahang pria itu mengeras selama beberapa saat, sebelum ia beralih melonggarkan dasinya dan menatap sang sekretaris dengan tatapan khasnya. "Saya akan menunggunya disini."

Melihat raut Seno yang benar-benar bertekad untuk menunggu atasannya yang 'gila', wanita itu terdiam di tempatnya selama beberapa saat sebelum menundukkan kepalanya sekilas dan pergi.

Seno segera merebahkan kepalanya pada punggung sofa, menatap langit-langit ruang tunggu yang dikhususkan untuk tamu VIP. Hanya ada dirinya di dalam ruang tunggu yang luas itu. Tidak ada yang menyaksikan wajah sang pria yang kini terlihat sangat lelah. Seno benar-benar merasa lelah, baik secara fisik maupun batin. Setelah kejadian dimana Annika di jemput secara paksa oleh saudara kembar wanita itu, Seno terus merasa gelisah sepanjang hari—hal yang sangat jarang terjadi di kehidupan pria itu. Kalau menuruti kata hatinya, ia ingin segera menyusul Annika dan membebaskan wanitanya dari sang saudara kembar—si pemilik tingkat keganasan yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang saudara kembar. Tapi saat mengingat pesan yang disampaikan oleh salah satu bawahan Yoga, Seno memilih untuk menahan dirinya demi menghindari hal-hal yang bisa memperburuk hubungan antara Annika dan saudara kembarnya.

Bohong kalau Seno bilang ia tidak terkejut saat melihat Yoga menyerang kekasihnya. Saat ia melihat wanita yang telah mengisi pikirannya itu tercekik di tangan saudara kembarnya sendiri, ia hampir saja memperlihatkan sisi lainnya yang sudah ia kubur dalam-dalam. Sisi yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang Widjaya.

Itu adalah pertama kalinya Seno melihat keganasan penerus Titus—pria yang rumornya bisa membunuh orang hanya lewat tatapan mata. Meskipun Seno sudah sedikit menduga bahwa anak-anak Titus akan memiliki sifat yang sedikit 'unik', tetap saja ia tidak memprediksi bahwa penerus Titus akan lebih liar daripada pria tua itu, bahkan hingga menyerang orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Saat itu juga, Seno memutuskan bahwa ia tidak bisa bertindak gegabah menghadapi Yoga—yang entah kenapa mengeluarkan aura yang sama seperti dirinya yang dulu. Ia perlu bertindak hati-hati dan memikirkan rencananya matang-matang.

Tapi, semua pemikirannya menguap begitu saja saat mendengar berita yang disampaikan oleh Dwino pagi ini.

Annika balik ke Surabaya.

Tanpa memberitahu kemana ia pergi pada sang asisten dan sekretaris yang terbelalak lebar melihat atasan mereka berlari dengan cepat menuju lift, Seno segera mendatangi kantor tempat saudara kembar kekasihnya berada. Pria itu sudah tidak peduli dengan pandangan orang tentang dirinya, yang ia pedulikan adalah Annika yang tiba-tiba kembali ke kota tempat wanita itu menghabiskan masa kecil hingga remaja. Ia sudah bisa menduga bahwa dalang di balik kembalinya Annika secara tiba-tiba adalah Yoga. Entah apa yang diucapkan pria dengan wajah yang hampir mirip dengan kekasihnya itu pada Annika hingga wanita yang dikenal dengan ketangguhannya menuruti perkataan sang saudara kembar.

Seno sungguh tidak terima dengan kepergian Annika yang tiba-tiba. Ia belum memperbaiki hubungannya dengan Annika, belum menyelesaikan kebohongan yang ia susun bersama Annika, dan yang paling penting, Seno belum menyampaikan apa yang melingkupi hati dan pikirannya pada wanita itu.

Bukan hal sulit untuk Seno mencari penerbangan tercepat menuju Surabaya. Namun, ia tahu ada kendala yang akan ia temui begitu ia mendarat dengan selamat. Ia tidak tahu alamat rumah keluarga inti Annika. Selain itu, ia tidak yakin bahwa ia bisa bertemu Annika dengan mudah.

Firasatnya mengatakan bahwa ia akan menghadapi hal yang lebih sulit dibandingkan Yoga—saudara kembar Annika yang over-protective.

Seno tidak bodoh, ia tahu dengan jelas kalau saat ini Yoga sedang mempermainkannya. Membuat Annika kembali ke Surabaya, menggunakan alasan tidak masuk akal demi mengulur waktu untuk bertemu dengannya, dan entah hal menyebalkan apalagi yang menunggunya di waktu yang akan datang.

Mata Seno terpejam, rautnya menjadi tenang selama beberapa saat, sebelum seulas senyum tipis muncul pada wajah tampan itu.

Satu hal yang tidak diketahui oleh orang lain—bahkan Yoga sekalipun—bahwa Seno tidak sepolos yang ia perlihatkan pada orang lain. Jika digambarkan dengan binatang, Yoga seperti ular, yang terlihat berbahaya di luar maupun dalam. Tapi Seno, pria itu diibaratkan seperti rubah. Terlihat tidak berbahaya di luar, namun tidak ada yang tahu apa yang sedang berjalan di kepala pria itu.

Karena itu, saat ini Seno yakin bahwa saat ia bertemu dengan Yoga nanti, ia bisa memastikan pria itu akan menyesal telah mempermainkan dirinya. Sudah saatnya ia melepas topeng baik hatinya dihadapan Yoga dan menunjukkan sisi lainnya yang berusaha ia tekan selama ini—atau sisinya yang benar-benar menunjukkan siapa dirinya.

Karena saat ini, titik kesabaran Seno sudah mencapai dasar, dan yang akan merasakan dampaknya pertama kali adalah Yoga.

×××

inilah saatnya kita mengheningkan cipta sejenak dan berdoa untuk keselamatan Yoga nanti--oGAh banget. MWAHAHAHA

soo~ sudah selesai kangennya dengan Seno?

semoga kalian suka dengan chapter ini ^-^

Not a Fake Lover ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang