22 : Nggak Boleh Baper !

492 66 20
                                    

“Ya ampun, jadi kamu punya saudara kembar? Bunda dulu cuma ketemu kamu waktu kamu masih SD, kamu lucu banget waktu itu pakai gaun pink, digendong sama Titus. Terus bunda bilang ke Ayah Seno, ya ampun itu anak yang digendong Titus cute banget! Habis itu....”

Annika berhenti mendengarkan Ibu Seno saat bulu kuduknya berdiri. Ia mengeryit, mengalihkan tatapannya pada sekeliling dengan tidak mencolok, sebelum tatapannya bertubrukan dengan seorang wanita berambut panjang yang terlihat sangat cantik dengan gaun yang terbuat dari kain batik. Wanita itu terus menatapnya dengan tatapan sinis, membuat Annika mengangkat kedua alisnya.

Siapa itu?

“Oh iya! Tunggu disini, bunda mau ambil benda berharga buat kamu!”

Tepukan pelan pada pundaknya membuat Annika kembali menatap Ibu Seno, mengulas senyum kecil sebelum mengangguk. Ibu Seno tersenyum lebar, sebelum beranjak berdiri dan pergi entah kemana mengambil ‘benda berharga’ yang disebut-sebut tadi.

“Maaf ya, bunda cerewet.”

Suara berat yang terdengar bersamaan dengan sisi sofa disebelahnya yang sedikit bergerak membuat Annika menoleh, mendapati Seno sudah duduk dan mengulas senyum canggung. Annika menggelengkan kepalanya, “Santai aja. Aku udah biasa kok, di rumah juga mama cerewet banget. Tapi seru dengerin bunda cerita.”

Seno terdiam, memiringkan kepalanya sembari menatap Annika dengan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh wanita itu. Mereka hanya saling tatap selama beberapa detik, sebelum Seno mengulas senyum lembut dan berbicara dengan nada pelan. “Saya merasa beruntung memilih kamu jadi pacar pura-pura saya.”

Annika tersenyum jahil, menyentuh pipi Seno dengan jari telunjuk dan sedikit menekan pipi pria itu. “Apaan coba? Eh by the way, kita udah setuju kan buat nggak pake lo-gue atau saya-kamu?”

Untuk pertama kalinya, tawa pelan yang keluar dari Seno membuat Annika menjadi sedikit terkejut. Seno yang tertawa dengan tulus tanpa dibuat-buat membuat pria itu terlihat lucu dan tampan disaat yang bersamaan. Tawa pria itu membuat senyum lembut terulas pada wajah Annika--tanpa wanita itu sadari.

“Ah...maaf. Kamu benar, aku salah sudah lupa perjanjian kita,” ucap Seno, masih sedikit terkekeh. Pria itu mengulas senyum, tangannya terulur dan mencubit pelan pipi Annika.

Bibir Annika mengerucut, dengan cepat ia menepis tangan Seno yang berada di pipinya. “Aku bukan anak bayi, jadi jangan cubit pipiku.”

But you look really cute right now. Aku salah kalau mau cubit pipi cewekku?”

Biasanya, kata-kata yang diisi dengan pujian untuknya membuat Annika merasa geli dan ingin memukul orang yang sudah melontarkan kata-kata menggelikan itu. Tapi kali ini, entah kenapa alih-alih merasa geli, perasaan senang merayap perlahan di dalam tubuh Annika.

Tapi dengan segera Annika menekan perasaan itu. Ia tidak boleh lupa, kalau ia dan Seno hanya berpura-pura.

“Annika?”

Elusan pelan pada tangannya membuat Annika tersadar. Matanya berkedip beberapa kali, menatap Seno yang terlihat khawatir, sebelum melirik tangan sang pria yang tengah menggenggam tangannya dan mengelus punggung tangannya dengan pelan.

Sorry, tadi kamu bilang apa?”

Seno terdiam, tidak menanggapi pertanyaannya--membuat Annika sedikit panik. Tak lama, pria itu menggeleng pelan, mengulas senyum tipis. “Aku nggak ngomong apa-apa, tadi kamu tiba-tiba diam. Aku pikir ada yang sakit.”

“Oh... nggak--”

“Waduh... ditinggal sebentar udah langsung berduaan.”

Keduanya serempak menoleh, menatap Ibu Seno yang mengulas senyum jahil sembari memeluk buku besar yang terlihat seperti album foto. Ibu Seno terlihat sangat bahagia--hal yang tidak dimengerti Annika. “Ah~ Seno belum tunjukin kamu kamarnya dia waktu kecil kan?”

Not a Fake Lover ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang