Keduanya berjalan, melalui kerumunan orang yang entah kenapa menyingkir secara otomatis saat melihat siapa yang akan lewat.
“Umm, hei—”
Pria itu mengabaikannya. Seolah tidak mendengar panggilan Annika, kakinya terus melangkah dengan pasti melewati kerumunan orang, terus melangkah hingga Annika tersadar mereka telah keluar dari ruangan tempat pesta dilaksanakan. Secara otomatis Annika menghentikan langkahnya, memicingkan matanya saat menyadari sang pria tengah menariknya melewati lobby dan sedang menuju lift.
Sang pria ikut berhenti, sedikit tersentak saat Annika menghentikan langkahnya. Pria itu berbalik, menatap Annika yang kini menatap penuh curiga pada pria asing tampan itu.
“Look, gue berterima kasih banget lo udah bantuin nyingkirin cowok nyebelin tadi. Tapi maaf—” Annika menyentakkan tangannya, hingga genggaman sang pria terlepas, “Gue bukan cewek murahan yang bisa lo manfaatin begitu aja.”
“Ha—”
Tanpa menunggu balasan dari pria bernama Seno itu, Annika berbalik dan berjalan dengan cepat menuju hall tempat pesta tadi. Matanya bergerak dengan cepat, mencari sosok-sosok yang ia kenal—entah itu Yoga, Ayodya, atau Ivena—dengan harapan mereka akan mengantar pulang dirinya saat ini juga.
Matanya berbinar saat menemukan Ivena yang sedang berada dengan kumpulan pria yang memakai jas. Kakinya kembali melangkah dengan cepat, senyum mengembang saat ia berada tepat di belakang sahabatnya.
“Ven.”
Ia hampir saja tertawa saat melihat Ivena yang terlonjak. Cengiran terulas saat Ivena berbalik dengan ekspresi kesal tertera jelas pada wajah wanita itu.
“Bisa nggak sih, lo nggak ngagetin gue? Eh tunggu, bukannya lo tadi sama—”
“Juno?” potong Annika, membuat Ivena menunjukkan ekspresi bersalah.
“Sori, tadi si Tian—”
“Itu bisa nunggu. Ada yang lebih penting sekarang. Lo nggak tau kalo tadi—”
Sebelum Annika sempat menyelesaikan ucapannya, mata Ivena terbelalak lebar—bersamaan dengan lengan yang melingkari perutnya dan menarik tubuhnya hingga punggungnya menabrak sesuatu yang keras.
“Jahat sekali kamu, pergi meninggalkan kekasihmu saat kekasihmu ini sudah membantumu kabur.”
Suara yang terdengar sedikit familiar itu membuat Annika mengeryit. Dengan cepat ia menoleh, dan matanya terbelalak lebar saat mendapati pria asing tadi berada tepat di belakangnya, mengulas senyum lembut namun terlihat seolah sedang mengoloknya—kenapa Annika menilai begitu? Karena ia bisa melihat sinar jahil di mata pria asing itu.
“Sen? Itu bukannya—”
“Cewek gue.”
Dua kata itu berhasil membuat Ivena serta kelima pria lainnya—yang tengah berkumpul—terbelalak lebar.
“HAH?!”
Annika mengumpat dalam hati saat seruan dari orang-orang dihadapannya berhasil menarik perhatian tamu lain. Sekarang, hampir seluruh tamu pesta itu menatap penasaran ke arah mereka—membuat Annika secara tidak sadar merapatkan tubuhnya pada pria di belakangnya.
Annika benci menjadi pusat perhatian. Ini juga salah satu alasan ia mengadakan perang dingin dengan sang ayah, karena dengan ia ditunjuk sebagai ketua nyctophile dan penerus keluarga, ia menjadi pusat perhatian banyak orang. Karena ini juga ia tidak pernah mau pergi memenuhi undangan pesta dari rekan kerja mereka. Annika selalu mengutus sang kakak—Ayodya—atau meminta tolong sang ibu untuk hadir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Fake Lover ✔
RomanceOrang bilang move on itu gampang. Bahkan orang-orang di sekelilingnya memberitahu Annika bahwa move on itu semudah membalikkan telapak tangan, apalagi ia cantik, sudah pasti banyak pria yang mau menjadi kekasihnya. Tapi waktu sudah berjalan 6 bulan...